Tahun lalu, aku mengalami beberapa kehilangan. Bukan barang, melainkan sosok. Momen-momen itu membawaku pada perenungan panjang tentang kehilangan. Apa itu kehilangan? Mengapa kita bisa merasa kehilangan?
Ada sebuah jawaban yang ku dapat. Ia terkait dengan waktu. Begini ceritanya.
Salah satu cara pandang terhadap kehidupan adalah bahwa kita selalu hidup dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini tak terpisahkan. Keduanya secara bersamaan menyediakan slot untuk setiap peristiwa. Waktu diciptakan terus berjalan dengan ruang-ruang di dalamnya. Aku yang sedetik yang lalu adalah sebuah peristiwa, aku yang kini sebuah peristiwa, aku yang nanti pun peristiwa.
Saat aku berbincang denganmu, maka kita berada dalam sebuah slot ruang dan waktu. Aku yang berbincang denganmu sejam yang lalu, adalah sebuah kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan takkan terjadi lagi setelahnya. Kalaupun sebelumnya kita pernah berbincang, maka ia berada di slot yang berbeda dengan sejam yang lalu itu. Begitu juga kalaupun kita berbincang esok, kejadian itu akan berada dalam slot waktu yang berbeda dengan sejam yang lalu juga.
Ini hanya salah satu cara pandang kehidupan loh. Cara pandang yang melihat kehidupan sebagai rentetan kejadian. Tak ada kontinyuitas, tak ada sebab akibat, melainkan hanya dalam pikiran kita saja. Ya, Tuhan menciptakan kita dengan pikiran untuk membuat narasi sebab akibat. Namun dalam cara pandang kehidupan seperti ini, sebab akibat itu tak ada dalam kenyataan. Kenyataan hanyalah rentetan kejadian.
Lalu bagaimana cara pandang ini menjelaskan kehilangan?
Anggaplah aku berbincang denganmu sejam yang lalu. Maka kejadian itu ada dalam memoriku. Bisa ku ingat, sebab ia menempati sebuah slot waktu yang presisi, dan terekam dalam ingatanku. Lalu tetiba, aku mendengar kalau kau meninggal dunia. Maka dalam pikiranku akan terjadi ketidakseimbangan. Aku memiliki memori tentang pertemuan denganmu sejam yang lalu, namun aku tahu aku takkan memiliki memori itu lagi kini dan esok. Aku bisa membayangkan waktu terus berjalan ke depan, namun tak pernah bisa mengharapkan ada dirimu di dalamnya. Kau hilang, padahal kau pernah ada. Aku bisa merasakan ketiadaanmu, karena aku pernah meraakan keberadaanmu, dan masih mengharapkan kemungkinan keberadaanmu. Aku merasa kehilangan, sebab sejak aku mengenalmu, aku selalu menyiapkan ruang untukmu dalam pikiranku. Sehingga ketika kau tak mungkin lagi ada, ruang itu kosong belaka.
Penjelasan ini masuk akal. Sebab kita tak pernah merasa kehilangan orang yang tak kita kenal. Sebab kita tak pernah mengantisipasi—tak pernah menyediakan ruang dalam pikiran kita—atas mereka yang tak pernah hadir dalam kesadaran kita.
Aku jadi teringat kisah ketika Nabi Muhammad Saw pernah mengalami penghinaan dari seseorang secara terus-menerus. Lalu kala pada suatu hari, orang itu tak melakukannya, beliau mencarinya dan mendapati orang itu ternyata sedang sakit. Kisah ini kerap dimaknai sebagai pelajaran akan kelembutan hati Sang Nabi. Namun di sisi lain, sebuah pertanyaan bisa juga muncul: bagaimana beliau sampai melakukan itu? (Ya, bagaimana, bukan mengapa) Bisa jadi sebab orang itu pernah mengisi pikiran beliau, dan pada suatu waktu ia tak ada, sehingga lahirlah kehilangan. Bukan kehilangan karena rindu, melainkan karena ada harapan ia akan ada, sehingga tersedia ruang baginya, namun ternyata ia tak hadir.
Lalu bagaimana mengatasi rasa kehilangan? Bagaimana menghapuskannya?
Aku tak yakin bisa. Kehilangan itu akan tetap ada, karena yang hilang itu pernah ada, dan jejaknya tak bisa dihapuskan. Namun ruang yang kita sediakan dalam pikiran, mungkin bisa diisi dengan hal lain. Kita bisa menyediakan ruang itu bagi keberadaan yang lain.