Peristiwa hari-hari ini membuatku ingin berkomentar, “Siapa bilang jadi pemimpin itu mudah?”
Ya, jadi pemimpin itu tak pernah mudah. Ia membutuhkan seperangkat kemampuan yang kompleks, teknis dan karakter. Keributan yang dipicu oleh perkataan para elit politik adalah contoh dari kebutaan mereka bahwa saat mereka menjadi pejabat publik, maka mulut mereka memang tak bisa sembarangan lagi berucap seperti dulu. Dulu, mereka yang berasal dari dunia hiburan, memang boleh berucap apapun. Beberapa yang mulanya adalah para pelawak bahkan perlu berkata-kata yang bersifat melucu. Tapi kala jabatan publik mereka pegang, bahkan tarikan napas pun bisa jadi sorotan yang menghadirkan gangguan.
Saat seseorang menjadi pemimpin, setingkat saja lebih tinggi dari yang dipimpin, seketika ia berada di bawah lampu sorot. Semakin tinggi ia berdiri, akan makin banyak yang mengamati. Sebagian begitu mudah mengikuti, sebagian lain melihat dengan begitu jeli. Sisi lain, saat seseorang naik setingkat lebih tinggi, ia pun berjarak dengan realitas. Semakin tinggi ia naik, makin jauh pula dari realitas. Jelas, ia membutuhkan cara, keahlian, untuk memahami realitas, sementara ia berada nun jauh di atas.
Yang kita lihat dari tontonan para elit belakangan ini adalah mereka yang begitu bernafsu ingin naik—dan kita mengizinkannya—tanpa berkaca, seberapa mereka memiliki keseluruhan kemampuan memahami realitas itu. Berada di posisi lebih tinggi sebenarnya menguntungkan, sebab kita bisa melihat keseluruhan. Kita tak terjebak pada detil-detil yang tampak tak berpola. Melihat dari atas justru memungkinkan kita mengamati pola. Tapi hanya jika kita memiliki kerangka berpikir yang memadai untuk mengenali polanya. Tengoklah seorang dokter yang bisa menandai pemindaian laboratorium. Kita para awam hanya melihat hasil rontgen, misalnya, serupa arsiran tak beraturan. Tapi seorang dokter yang dilatih bertahun-tahun bahkan bisa memahami apa yang terjadi di dalam tubuh sang pasien, padahal melihat ‘arsiran’ yang sama.
Begitu pula pemimpin. Ia mesti terlatih bertahun-tahun untuk bisa memahami yang dipimpin: Apa yang terjadi? Apa yang mereka butuhkan? Maka tak pernah ada pemimpin baik yang lahir secara karbitan. Tak pernah. Sebut saja siapa. Tak pernah ada. Mereka yang berhasil adalah yang menempa dirinya bertahun-tahun, dari satu tahapan ke tahapan lain. Kredibilitasnya dibangun dari pengabdian ke pengabdian. Dari pengorbanan ke pengorbanan. Pun demikian, ia masih bisa salah. Maka apalagi mereka yang naik ke tahta tanpa persiapan selain uang.
Hari-hari ini adalah hari-hari yang menyadarkan kita bahwa kita perlu lebih serius memilih para pemimpin. Mereka yang kita titipi amanah, kita biarkan memungut pajak kita untuk kebaikan kita bersama, haruslah mereka yang jauh lebih ahli daripada kita. Mereka haruslah yang kita hargai karena kemampuannya, bukan karena kekayaannya. Mari belajar mengenali orang-orang yang sehari-hari mengabdi dengan sungguh-sungguh untuk kita. Orang-orang seperti itu sejatinya selalu ada, dan tak pernah ke mana-mana. Mereka tak ujug-ujug datang tak jelas dari mana asalnya. Rekam jejaknya terang benderang, tak ada yang samar-samar. Apa yang ia kerjakan dulu hingga kini kita tahu dan bisa mengaksesnya. Di titik ini aku percaya dengan sebuah kredo dalam salah satu pendekatan wawancara: past behavior, predicts future behavior. Apa-apa yang dilakukan seseorang di masa lalu, bisa kita jadikan pegangan untuk memperkirakan apa yang akan ia lakukan di masa depan. Tentu bukan berarti orang tak bisa berubah. Ini juga bukan untuk menghakimi orang yang pernah bersalah, akan selalu bersalah. Namun dalam rangka memilih orang yang akan kita titipi kekuasaan demikian besar, tak selayaknya kita memilih yang ala kadarnya, atau sekedar yang rata-rata. Mereka harus jauh lebih baik dari kita.
Ingatlah mahalnya harga ketidakkompetenan. Apalagi dalam ranah kepemimpinan.
