Menjalani beberapa hari Ramadhan membuatku terkenang akan Ramadhan yang kujalani ketika aku kecil. Keriangan sepulang sekolah, bermain menunggu ashar, mandi sore, kemudian bersiap-siap menuju masjid untuk shalat maghrib. Kuingat betul betapa bersemangatnya aku ketika itu, sampai-sampai tidak satu shalat wajib pun yang kulewatkan tanpa berjamaah. Aku selalu duduk di shaf paling depan bahkan di belakang imam langsung, sehingga pernah satu kali aku ‘diusir’ ke belakang karena tempat itu diperuntukkan bagi ustadz pengisi ceramah. Begitu antusianya aku mendengar ceramah dan menuliskan ringkasannya di buku tugas dari sekolah. Betapa bangganya aku sebab satu bulan, aku bisa meng-khatam-kan Al Qur’an hingga 3 kali. Gairahku begitu menggebu-gebu meskipun aku belum memahami esensi dari tiap hal yang kukerjakan selain hanya ritual ibadah yang mengandung banyak pahala.
Sungguh sesuatu yang amat berbeda dengan yang kujalani beberapa tahun belakangan. Seperti ada penurunan yang amat drastis baik dari segi kuantitas maupun kualitas ibadah yang kujalani. Tidak lagi aku sesemangat dulu ketika melangkah ke masjid. Tidak lagi aku mampu menangis saat membaca sura Ar-Rahman. Tidak lagi aku merasakan energi yang luar biasa mengalir membawaku seolah terbang setiap kali kubaca surat adalam shalat. Memang pemikiranku sudah jauh berkembang. Aku sudah mampu menarik makna dan hakikat setiap ritual yang dijalani oleh seorang Muslim, sekaligus mengaitkannya ke dalam kehidupanku yang lain. Hanya saja sesekali kurasakan kehampaan yang amat sangat.
Satu hal yang menentramkan hatiku. Pernah kubaca bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, “Iman itu naik turun. Kejarlah ibadah sebanyak-banyaknya ketika ia sedang naik. Sempurnakanlah yang wajib saja ketika memang ia sedang menurun.” Barangkali sekarang imanku sedang turun, tapi kapankah kiranya ia akan kembali menanjak? Aku sungguh merindukan saat-saat itu…