Dari dulu aku selalu penasaran dengan Lailatul Qadr. Sebuah konsep yang sedikit abstrak memang, sebab belum ada 1 orang pun yang kukenal ataupun kubaca mengaku pernah benar-benar mengalami malam yang ajaib ini. Sebagai malam yang punya ‘kasta’ amat tinggi, ia memang diceritakan memiliki berbagai keistimewaan. Sebutan “Malam Seribu Bulan” pun disandangkan kepadanya karena konon ia memiliki nilai yang sama dengan seribu bulan jika ia datang dan mendapati kita sedang bersujud kepada Pencipta-nya.
Banyak sudah ceramah yang menuturkan padaku bagaimana kita bisa mengira-ngira dan mendapatkan malam yang langka ini. Ada yang mengatakan, kita harus banyak beribadah di malam ganjil, sebab Tuhan menyukai yang ganjil. Ada juga yang mengatakan tanggal 17 Ramadhan, karena konon pada tanggal itulah Al Qur’an pertama kali turun–sesuatu yang kemudian kuragukan kebenarannya. Ada lagi yang menekankan malam-malam ganjil namun secara lebih spesifik ada di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Yang terakhir ini salah satunya didasarkan pada kebiasaan Nabi yang semakin khusyuk bermesraan dengan Kekasih-nya di 10 hari terakhir.
Sebagai orang yang memang tidak ahli dalam pengetahuan agama, aku meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan agama ini hanya untuk orang-orang yang pandai saja. Sebabnya, Dia toh menciptakan manusia dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Memang sih kita diperintahkan untuk selalu ‘membaca’, namun pastilah ini dalam konteks keterbatasan masing-masing. Sah-sah saja kemudian jika Lailatul Qadr dipahami sebagai sesuatu yang bersifat fisik, satu malam yang memang menunjukkan tanda-tanda turunnya jutaan malaikat ke bumi seperti langit yang cerah dsb. Bagi beberapa orang, pemahaman yang konkrit seperti ini memang membuat mereka lebih mudah untuk meyakini kebenaran adanya malam mulia ini. Hitung-hitungan keutamaannya pun dikerjakan secara detil sehingga malam seribu bulan diartikan sebagai kurun waktu sekitar 80-an tahun.
Nah, sebab inilah yang kemudian membuatku berani untuk mencerna Lailatul Qadr menurut keterbatasan kemampuanku. Aku melihat bahwa keberadaan malam ini adalah salah satu bentuk reinforcement yang diciptakan Tuhan untuk membuat setiap orang selalu memaksimalkan setiap malam Ramadhan. Secara teori, sebuah penguat akan efektif ketika kedatangannya tidak bisa diduga oleh si penerimanya. Berdasarkan mindset bahwa ibadah spiritual adalah cara Tuhan untuk mendidik manusia secara sosial, demikian juga yang terjadi dengan Lailatul Qadr. Malam mulia hanya diperuntukkan bagi manusia yang mulia, manusia yang tunduk pada Penciptanya pada setiap detik yang dijalani. Manusia yang memancarkan kebeningan pada cahaya wajahnya disebabkan oleh kemerdekaan yang telah diraih. Kemerdekaan yang didapat dari kepasrahan dan komitmen total kepada aturan main Penciptanya. Inilah sebabnya malam mulia ini diumpamakan sebagai seribu bulan. Kata seribu tidak hanya harfiah dalam arti jumlah, ia juga mengandung makna kemungkinan tak terbatas untuk memberi dan berbagi. Tidak lagi muncul sedikit pun kekikiran, sebab yang ia miliki tak lagi terbatas.