Seorang sahabat pernah berujar, “Kerja adalah sambilan pengisi waktu menunggu datangnya waktu shalat.” Sesaat, ini sebuah kalimat yang teramat dalam dan menyisakan keharuan buatku. Betapa tidak? Tampak bagiku kecintaan yang begitu dalam pada Kekasih-nya, sehingga selalu muncul kerinduan yang amat sangat dan hasrat yang amat tinggi untuk bertemu. Namun, lebih dalam kupikirkan, kurasa aku kurang sepakat.
Sebagai orang yang awam dalam masalah agama, aku selalu yakin bahwa misi khalifah yang diemban oleh manusia tidak sesempit menjalankan ritual ibadah belaka. Memang, Ia mensabdakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, hanya saja kemudian Ia pun mengajarkan melalui manusia pilihannya bahwa senyum, mencari nafkah, membantu tetangga, dan kegiatan non ritual lain juga adalah ibadah. Barangkali karena hal-hal yang kusebut belakangan memang tidak memiliki standar yang baku maka statusnya sebagai sebuah penyerahan diri kepada Penciptanya kurang dihargai oleh kebanyakan orang. Justru kita shalat agar kita bekerja dengan niat yang lurus layaknya syahadat, totalitas yang tinggi laksana khusyuk, tempo yang terjaga seperti tuma’ninah, dan diakhiri dengan manfaat yang dibagikan pada banyak orang bagaikan syahadat saat takhiyat dan salam. Shalat 5 waktu telah dirancang sesuai dengan keterbatasan manusia untuk memfokuskan energi dan pikirannya, karena itulah perlu di-refresh lagi.
Ritual yang dijalani dengan penuh kekhusyukan memang nikmat, namun tentu lebih nikmat jika ia mampu membuat kita bekerja secara profesial dan berguna bagi dunia yang Ia ingin kita tundukkan. Lagi-lagi, keshalihan spiritual harus mewujud dalam keshalihan sosial.