Kumpul-kumpul Ramadhan

Jika ditanya salah satu hal yang paling menonjol ketika muncul Ramadhan, salah satu jawabannya adalah: kumpul. Parapekerja yang biasanya senang lembur, mulai bekerja dengan efektif sehingga dapat pulang tepat waktu demi berbuka bersama keluarga di rumah ataupun bersama rekan-rekan yang lain. Tidak tanggung-tanggung, seorang rekan bercerita bahwa ia sudah memiliki schedule yang cukup padat untuk acara yang satu ini. Mulai dari dengan alumni sekolah, kuliah, teman kantor, sepupu, panti asuhan, dan lain sebagainya. Mereka yang tadinya jarang ke masjid, menjadi rajin karena para tetangga berbondong-bondong mengajak tarawih berjamaah. Malas mengaji? Tenang saja, sebab pengurus masjid telah menyiapkan paket tadarusnya. Tidak lupa tentunya macam ragam pengajian yang bertebaran dimana-mana, menunggu untuk dipilih–dan dihadiri tentunya.

Banyak orang yang bilang semua kegiatan itu hanyalah euforia Ramadhan belaka. Layaknya selebritis yang segera berganti busana sehari-hari dengan pakaian muslim, kesibukan seperti di atas pun biasanya memang akan hilang seketika begitu Ramadhan usai. Namun demikian, setidaknya ada beberapa pemikiran yang sedikit berbeda mencuat di benakku.

Aku kemudian teringat pengalamanku mengikuti kuliah dosen tamu dari Swedia, pakar Psikologi Lintas Budaya. Bicara tentang kolektivitas, tiba-tiba aku pun melontarkan sebuah pertanyaan yang memunculkan insight bagiku sendiri. Mengapa orang Indonesia yang katanya punya budaya kolektif tinggi amat jarang yang menggunakan nama keluarganya sebagai nama panggilan resmi? Padahal jika diamati, bangsa barat yang konon amat individualistis toh selalu memakai nama keluarganya sebagai identitas. Dosen itu mengakui ia have no idea. Tapi seketika itu sebuah jawaban muncul dengan sendirinya dari kepalaku: bagaimanapun, manusia adalah makhluk kolektif. Kebersamaan dengan orang lain adalah kebutuhan yang tidak mungkin bisa digantikan oleh kesuksesan akibat ambisi pribadi. Kecenderungan untuk terikat pada identitas tertentu adalah kenikmatan yang akan terus dicari meski kekayaan material ada di depan mata.

Itulah sebabnya aku pun kemudian memahami Ramadhan sebagai bulan kolektif. Ya. Islam memang paham betul bahwa manusia dengan segala kesempurnaan (dan juga kekurangannya) memang diciptakan sebagai makhluk sosial. Cobalah mengucilkan seseorang, dan jiwanya akan terganggu secara perlahan-lahan. Inilah mengapa Islam amat menekankan arti berjamaah dalam menjalankan tiap ibadah. Shalat, puasa, zakat, sampai haji adalah tiang keislaman yang semuanya didesain berdasarkan fitrah manusia sebagai ciptaan yang kolektif. Sisi lain, berjamaah adalah pancingan untuk membuat manusia keluar dari zona-nyaman-individual-sesaat dan keluar menjalankan fungsi kekhalifahannya. Sungguh sebuah sistem ibadah yang luar biasa. Sederhana, namun dengan kandungan kompleksitas yang tinggi.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *