Yang Terbuang dan Tersia-sia

Kemarin sore, aku membantu rekan-rekan kantor yang menjadi panitia peringatan Nuzulul Qur’an. Acara hampir dimulai, aku pun duduk sejenak di samping seorang rekan sembari menunggu para peserta berdatangan. Rekanku ini kukenal sebagai seseorang yang amat bersemangat ikut dalam berbagai kepanitiaan. Sudah tidak terhitung lah partisipasinya setahun belakangan ini. Dalam kepanitiaan kali ini pun, aku mengamati ia sepertinya memegang peran yang cukup besar sekalipun banyak rekan-rekan lain yang lebih senior. Obrolan pun berlanjut, aku iseng bertanya kepadanya, “Acaranya apa aja sih sore ini?”
Ia menjawab, “Nggak tahu. Itu urusannya si A (sebutlah demikian).”
Aku sedikit heran, orang dengan peran seperti dia mengakui tidak tahu paling tidak garis besar acaranya? “Masak sih nggak tahu?” tanyaku lagi
“Bener, nggak tahu. Aku kan kebagian ngurus pembagian santunan dan urusan yayasan anak yatimnya. Ya aku nggak tahu acaranya akan seperti apa,” jawabnya lugas.

Sejenak kemudian ingatanku kembali pada setahun yang kujalani bersama rekanku ini sebagai satu tim. Ia memang punya semangat untuk bekerja yang tinggi. Impiannya yang kutahu hanya satu: setiap pekerjaan yang diberikan harus diselesaikan. Termasuk request untuk ikut dalam berbagai kepanitiaan. Hasrat berprestasinya yang tinggi membuatnya tidak bisa mengatakan ‘tidak’ pada sebuah tawaran, meskipun kupikir-pikir tidak semua dijalaninya dengan enjoy.

Nah, itu dia! Kupikir-pikir lagi, sepertinya hampir selalu muncul keluhan setiap kali ia mengerjakan sesuatu. Ia memang mencurahkan tenaganya, namun amat jarang mencurahkan hatinya. Ia menyelesaikan pekerjaannya, hampir tanpa ada emosi dan rasa kepemilikan di dalamnya. Pengalamannya memang banyak–karenanya peluang belajarnya pun banyak–namun ia hanya fokus pada tugas yang harus ia selesaikan, sehingga hampir tidak bisa menikmati hasil kerja secara keseluruhan.

Mengingat hal ini, aku pun tiba-tiba terpikir akan diriku sendiri. Tidak puas dengan tempat kerjaku, aku segera mencari peluang lain, padahal belum banyak yang bisa kutawarkan dari diriku. Kurang puas dengan satu organisasi ketika kuliah dulu, aku pun pergi mencari tempat lain yang lebih menarik. Kurang cocok berhubungan dengan satu orang, segera saja aku memutuskan untuk mencari yang lebih pas (ups…).

Hmm…padahal pagi ini aku membaca sebuah buku tulisan Warren Bennis, Leaders. Satu hal yang amat menamparku: para pemimpin besar tidak pernah terpengaruh dengan hal-hal di luar dirinya. Sebutlah itu mood, lingkungan yang tak bersahabat, peluang yang sempit untuk berkembang, kondisi ekonomi yang sulit, dan kawan-kawannya. Justru keadaan yang tidak menyenangkan adalah ‘ladang amal’–pinjam istilahnya ya A’–untuk mengembangkan dan membuktikan kualitas kepemimpinannya.

Aku pun berpikir, sudah berapa banyak peluang belajar yang kulewatkan hanya karena aku belum bisa menundukkan diriku sendiri? Berapa waktu yang kubuang sebab aku tidak pernah menghargai setiap detik yang lewat di hadapanku? Berapa banyak tenaga yang tersia-sia hanya untuk mengeluh dan tidak berbuat apapun?

Hmm…saatnya untuk berubah…

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *