Kurang dari 3 minggu menjelang hari H-ku, sebuah film disuguhkan kepadaku di malam minggu kemarin. Sebatas Aku Mampu, judulnya. Berkisah tentang pasangan muda, Ayub dan Ros, yang membina rumah tangga dengan keunikan masing-masing. Ros adalah seorang sekretaris pada sebuah perusahaan baru, pekerja keras, rajin, dan pintar, membuatnya dapat memperoleh peningkatan karir dengan cukup cepat. Ayub, pegawai negeri dengan keinginan dan pola pikir yang amat sederhana, menjalani hari-harinya begitu damai dan santai dengan memancing bersama sahabatnya dan mengurus ayam sepulang ke rumah.
Ketidakpahaman akan keunikan masing-masing belum terasa ketika pada awal cerita mereka masih mampu mengkompromikan banyak hal. Ros tidak pernah menyukai ayam-ayam peliharaan Ayub dan mengusulkan untuk memelihara anjing saja. “Anjing tidak bisa bertelor,” jawab Ayub ketika itu. Namun berjalan waktu, karier Ros yang semakin menanjak rupanya menggelitik Ayub yang stagnan. “Kita tidak pernah lagi ngobrol Ros,” ujar Ayub satu kali. “Abang yang terlalu sibuk dengan ayam-ayam Abang,” balas Ros. Bagaimanapun, Ros tetap membutuhkan kegemaran Ayub memancing, sebab suami bosnya ternyata juga amat gemar memancing. Kesederhanaan dan filosofi memancing Ayub telah memikat hati suami sang bos.
Konflik muncul ketika keunikan masing-masing tidak dihargai dan dimaknai sebagai bagian hidup yang sewajarnya. Ros merasa suaminya tidak mau berkembang, Ayub merasa istrinya terlalu lugu sehingga mudah dimanfaatkan. Sebagaimana kisah-kisah happy ending, Ros akhirnya mengetahui bahwa sang bos rupanya ingin menjodohkan ia dengan anak lelakinya yang beberapa tahun belakangan kehilangan istrinya yang meninggal. Ayub sudah pernah mengingatkan hal ini, “Menurutmu tidak aneh, ada seorang sekretaris tiba-tiba diangkat menjadi manajer?” Ros yang merasa direndahkan kontan meledak, “Jadi menurut Abang aku tidak pantas mendapatkan jabatan itu?” Pertengkaran pun berlanjut namun berakhir dengan bahagia.
Romantis bagi sebagian orang, buatku kisah dalam film itu amat mencerahkan. Beberapa jam sebelumnya, terlintas dalam pikiranku bahwa pernikahan berarti kebebasan memilih. Ayub dan Ros yang begitu berbeda memilih untuk bersatu karena cinta yang mereka rasakan. Betapa tidak? Baik agama maupun budaya secara umum mengajarkan batasan-batasan di antara sesama saudara kandung sekalipun. Bahkan ayah dan ibu juga tetap harus memiliki ‘jarak’ dengan anaknya dalam hal-hal tertentu yang merupakan privasi mereka.
Bagaimana dengan pernikahan? Yang terjadi justru sebaliknya. Sepasang suami istri bebas berbagi apapun tanpa ada batasan sama sekali. Pada orang asing itulah seseorang membuka rahasianya yang paling dalam dan mengukir masa depan bersama. Sungguh sebuah kebebasan yang luar biasa. Manusia adalah khalifah, sang penentu arah perkembangan dunia, karenanya ia tidak boleh dibelenggu semata-mata oleh hubungan sedarah. Kesempurnaan seseorang akan muncul ketika ia menyempurnakan kehidupannya dengan kehadiran seorang pasangan hidup, karena itulah ia harus memilih sendiri sang pasangan sejati. Visi masa depan yang besar tentu harus dicapai dengan regenerasi yang baik karena terbatasnya usia, maka dari itulah seseorang diberi kekuasaan penuh untuk mencari bibit terbaik generasi penerus.
Hmm…jika aku sempat membayangkan pernikahan adalah kesenangan berdua, rupanya aku salah. Sebuah pernikahan adalah penopang kehidupan. Memilih pasangan, memilih arah rumah tangga, memilih apa yang akan dimakan, memilih akan menyekolahkan anak dimana, memilih mencari sumber penghidupan apa, adalah rentetan kebebasan berikutnya. Selayaknya sebuah kebebasan, hasil akhir tentu harus dipertanggung jawabkan. Inilah yang membuat hatiku bergetar.
Hi there to all, it’s actually a fastidious for me to go to see this web site, it includes important Information.