Setengah dan Setengah

Tiga minggu menjalani ‘hidup baru’-ku setiap detik serasa menghadirkan beragam pencerahan dalam hati. Beberapa kebiasaan tentu berubah, mulai dari bangun pagi hingga tidur lagi, selimut penutup keaslian masing-masing diri terbuka tanpa mampu ditutup lagi. Seperti pernah kuutarakan, menikah memang adalah anugerah kebebasan dari Tuhan yang luar biasa, tempat 2 orang saling menumpahkan segenap kemurniannya. Hmm…tidak selalu demikian memang. Pernikahan yang disebabkan oleh perjodohan yang dipaksakan atau nafsu tanpa pertimbangan logika dan didasari cinta yang tulus adalah contoh yang amat mungkin menelurkan hasil sebaliknya.

Sedikit demi sedikit, beberapa bagian dari diriku terasa bertumbuh. Di tengah kekuranganku dalam hal pengambilan keputusan, aku belajar untuk lebih decisive, karena akulah kepala keluarganya sekarang. Kewajiban untuk shalat berjamaah dan menjadi imam adalah pelatihan yang luar biasa untuk mengasah jiwa kepemimpinanku. Tidak lagi aku bisa mempelajari suatu ilmu tanpa membaginya kepada istriku, sebab demikianlah layaknya seorang pemimpin mendidik pengikutnya. Tidak lagi aku bisa menggunakan penghasilan semauku, karena ini bukanlah milikku seorang lagi sekarang. Belum lagi keseimbangan yang harus kujaga dengan ibuku yang sedikit banyak pastilah memiliki rasa cemburu dengan kebersamaanku bersama orang lain.

Sejenak kemudian, aku pun teringat pada ajaran Rasulullah: menikah berarti meraih setengah agama. Tidak pernah aku mendapat pencerahan akan ajaran ini sebelumnya. Ya. Inilah sisi lain dari mata uang menikah adalah meraih kebebasan. Tidak saja kita bebas menentukan apapun jalan yang akan kita tempuh dalam mengarungi bahtera pernikahan itu, melainkan juga hasil akhir sudah mulai terlihat: gunakan kebebasan dengan semestinya, dan setengah agama sudah di tanganmu. Jadilah pemimpin, bimbinglah pengikutmu, curahkanlah setengah hidupnya untuknya, jadikanlah mereka bagian kehidupan yang berarti bagi banyak orang.

Dimana yang setengah lagi? Jawabnya terletak pada ajaran lain: jika seseorang mati, hanya ada tiga hal yang bermanfaat baginya di akhirat; anak yang shalih, ilmu yang bermanfaat, dan amal yang pernah diberikannya. Sebuah ajaran yang juga sudah ditemukan oleh ilmu pengetahuan saat ini: kualitas kepemimpinan seseorang hanya bisa dilihat setelah orang itu meninggalkan pengikutnya. Bukanlah seorang pemimpin yang sukses jika pengikutnya terus bergantung pada kemampuannya dan tidak pernah mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *