<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Trebuchet MS”; panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; mso-font-alt:”Times New Roman”; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:auto; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:justify; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:Calibri; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”; mso-ansi-language:IN;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
Demam Euro. Tidak peduli apakah pekerjaan di kantor besok menumpuk, hingga terpaksa mengerjakannya dengan terkantuk-kantuk, toh tetap saja para penggemar sepak bola rela begadang demi menonton perhelatan akbar sepakbola Eropa ini.
Dan, tidak cukup hanya menonton, pertaruhan pun tidak terelakkan terjadi di antara para penonton tersebut. Ya, pertaruhan seolah memang setali tiga uang dengan olahraga yang konon bertujuan untuk menyehatkan raga dan jiwa itu.
Tapi, bukan soal sehat jiwa dan raga itu yang saya ingin bahas pada tulisan kali ini. Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap berbagai bentuk pertaruhan, saya melihat sebuah fenomena yang menarik dari perilaku para penggemar sepakbola.
Ya, mencermati pesta olahraga seperti ini, saya jadi teringat pelajaran Bahasa Indonesia ketika SMP dulu, antara pars pro toto dan totem pro parte. Eit, jangan alergi dulu, definisinya tidak serumit istilahnya kok. Saya sendiri lupa persis definisinya, hanya saja saya ingat kalau salah satu di antaranya berarti ‘sebagian yang mewakili keseluruhan’. Maksudnya, bagian yang kecil terkadang bisa mewakili dan seolah-olah dipandang sebagai sebuah bagian besar yang utuh. Contohnya? Ya dalam kasus Euro tadi. Berapa jumlah pemain sepak bola yang mewakili setiap negara? Sebelas orang, bukan? Dan sebagai apa kesebelas orang tersebut dipanggil? Jerman, Swiss, Belanda, Italia, Perancis, dll.
Nah, di sinilah letak menarknya bagi saya. Menarik karena fenomena ini adalah fenomena hipnotik. Betapa tidak? Begitu banyak orang ramai untuk menelaah bagaimana ciri khas dari tim seperti Italia, sang juara dunia tahun 2006. Mental juaranya, strateginya, sejarahnya, kekuatan dan kelemahannya, dan seterusnya. Begitu asyiknya semua itu dibahas, sampai-sampai kita lupa bahwa yang namanya Italia itu tidaklah lebih dari sebelas orang pemain yang bermain di lapangan. Ya, Italia tidak lah lebih dari sekedar sebelas orang saja, yang tidak selalu ada hubungannya dengan sejarah mereka. Pelatih mereka tidak sama dengan pelatih-pelatih yang dulu, pemain mereka juga tidak, begitu pula dengan strategi yang mereka gunakan, dan yang pasti lawan-lawan mereka juga tidak sama.
Tapi, beberapa pemainnya ada yang sama lho dengan tahun 2006?
Aha, apakah usianya sama? Dan, karenanya, apakah kemampuannya tetap sama dengan yang dulu? Apalagi jika disatukan dalam tim yang ada saat ini, akan kah mereka mengeluarkan kemampuan bermain yang sama?
Ya, inilah yang dalam NLP kita kenal sebagai nominalisasi, alias pembendaan, atau berubahnya sesuatu yang dinamis menjadi seolah-olah statis dikarenakan label yang dikenakan kepadanya. Inilah yang terjadi dengan Italia. Tim Italia bukanlah sebuah benda, yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Namun ketika ia kita sebut sebagai Italia, maka ia seolah-olah adalah sesuatu yang statis. Italia yang dulu sama dengan Italia yang sekarang. Padahal, begitu banyak hal yang berbeda, sebegitu dinamisnya sehingga membuat Italia yang sekarang mutlak tidak sama dengan Italia yang dulu.
Aha, tidak mengherankan, jika ketika Italia dikalahkan dengan 3 gol oleh Belanda beberapa hari lalu, begitu banyak penggemarnya yang terkejut dan bersungut-sungut. Mereka berpikir sejarah akan selalu mengulang hal yang sama. Nyatanya, masa lalu bukanlah jaminan akan apa yang akan terjadi di hari ini, pun di masa depan.
Nah, oleh karena itu, jika Anda adalah penggemar sepak bola, pastikan Anda menggunakan prinsip-prinsip NLP jika tidak ingin kecewa. Pertama, pakai Meta Model, jangan pernah bicara soal negara dan sejarahnya, bicaralah soal siapa pemain dan pelatihnya sampai pada strategi yang mereka gunakan. Kedua, pastikan Anda cukup jeli (sensory acuity) di setiap pertandingan, sebab itulah yang akan menjadi tolok ukur yang ampuh jika Anda ingin menilai apakah tim favorit Anda memang memiliki performa yang layak untuk diperhitungkan. Kalibrasi lah selalu performa tim favorit Anda, baru lah memutuskan untuk mendukungnya atau berbalik mendukung lawannya. Ketiga, menonton lah selayaknya Anda bermain. Para pemain sepak bola itu serius ketika bermain, namun mereka tetap bermain, dan bukan bekerja. Kekalahan mungkin mengecewakan mereka, tapi toh mereka tetap bermain. Inilah menurut saya keuntungan linguistik yang ditempelkan kepada mereka: bermain. Dalam hal ini, saya sangat menyukai gaya para pemain Brazil, yang tidak ada bedanya ketika mereka bermain di Piala Dunia atau bermain di jalanan: selalu fun.
Dan, sembari menanti pertandingan malam ini, bukankah kita belajar sesuatu yang bermanfaat?