Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Bicara soal kepemimpinan, saya teringat sebuah pengalaman ketika terakhir kali menjadi program manager untuk sebuah proyek management trainee 2 tahun lalu. Sebagai rangkaian dari program panjang tersebut, kami mengundang Presiden Direktur kami untuk bertemu dengan para trainee dan berbagi kisah tentang perjalanan kepemimpian beliau. Dalam format diskusi melingkar, beliau membuka dengan sebuah pertanyaan menggelitik. Ya, bahkan sampai sekarang saya masih terus tergelitik setiap kali mengingatnya.
“Siapa di sini yang ingin jadi pemimpin?” tanya beliau.
Serempak seluruh trainee pun mengacungkan tangan penuh percaya diri. Maklum, mereka ini adalah karyawan pilihan yang memang sudah ditengarai bibit kepemimpinannya sejak proses seleksi. Dalam hati, saya pun ikut mengacungkan tangan saya. Namun karena jaim sebagai senior, maka saya senyum-senyum saja. Hehehe…
“Bagus,” ujar beliau. Dan para trainee pun menurunkan tangan mereka.
“Nah, kalau semua orang ingin jadi pemimpin, lalu siapa dong yang jadi pengikutnya?” Tanya beliau lagi sambil tersenyum.
Denggggg! Sontak saja wajah senyum malu muncul dari wajah para trainee, plus saya sendiri. Malu karena dikiranya pertanyaan yang akan diajukan adalah pertanyaan yang sudah ada dalam boks berpikir kami. Eh, ternyata ia justru di luar dari apa yang kami duga. Bahkan, ia merupakan pertanyaan yang sangat mendasar tentang konsep kepemimpinan.
Saya pun merenungi pertanyaan tersebut cukup lama. Bahkan sampai sekarang, ketika setidaknya setahun belakangan saya mulai merasakan bahwa NLP hanya sebagai NLP masih terlalu mentah untuk dinikmati. Ia perlu diberi konteks agar menjadikan setiap orang yang mempelajari begitu mudah mendapatkan manfaat lebih banyak.
Beberapa pertanyaan pun bermunculan dalam benak saya setiap kali memikirkan pertanyaan tersebut. Beberapa masih belum terjawab. Yang lain mulai menghadirkan kecerahan dalam pikiran saya.
Ya, sangat logis untuk memahami bahwa jumlah pengikut (follower) jauh lebih banyak daripada pemimpin (leader). Maka sejatinya ilmu tentang bagaimana menjadi pengikut yang baik mestilah lebih banyak dan komprehensif diajarkan daripada bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Uniknya, justru sebaliknya lah yang terjadi. Dimana-mana begitu mudah ditemukan buku dan pelatihan kepemimpinan, sementara begitu banyak bahasan tentang kepengikutan (followership).
Sisi lain, kondisi ini juga amat wajar. Karena jadi pengikut itu pasti dan alamiah. Maka tak perlu diajari secara khusus. Sedangkan menjadi pemimpin itu belum pasti. Ia hanya bisa dicapai melalui sebuah proses seleksi ketat yang berujung hanya pada beberapa gelintir orang saja.
Ah, proses. Kata ini seketika menyentil hati saya. Persis seperti sebuah pertanyaan yang berlompatan dalam pikiran saya, “Adakah pemimpin hebat yang berawal dari pengikut yang pecundang?”
Hmm..Anda tentu sepakat dengan saya. Ya, tidak ada! Hampir tidak mungkin seseorang terpilih sebagai pemimpin jika selama menjadi pengikut ia adalah seorang pecundang. Kalau hanya jabatan bertitel pimpinan sih masih mungkin. Tapi pemimpin betulan? Ah, tidak mungkin.
Maka, saya pun sampai pada kesimpulan (kok baru sekarang ya?) bahwa menjadi seorang pemimpin memang dimulai dengan menjadikan diri kita layak untuk menjadi pemimpin. Alias, menjadi pemimpin yang hebat, pasti harus diawali dari menjadi pengikut yang hebat pula. Contoh mudah saja, mungkinkah Anda memilih ketua RT yang selama ini suka menunggak iuran warga? Hehehe…
Lalu, apa donk hubungan bahasan soal kepemimpinan ini dengan NLP?
Ya sangat erat donk. Karena titik awal kepemimpinan adalah kepengikutan (followership), maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mengembangkan jiwa kepengikutan yang baik ini?
Segera saja ingatan saya tertuju pada sebuah ajaran klasik, “Setiap orang adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.”
Nah, dari sini, kesimpulan berikutnya adalah, kepengikutan sejatinya adalah kepemimpinan pula. Lebih spesifiknya, kepemimpinan diri (self leadership).
Aha! Anda tentu sudah bisa menebak arah bahasan saya, kan?
Ya, bicara soal mengelola diri, ya bicara soal NLP. Bagaimana menjadikan diri ini yang terbaik yang ia bisa? NLP mengajarkan: model lah yang terbaik, lalu modifikasikan sesuai kebutuhan Anda. Itu singkatnya. Panjangnya? Silakan baca di “The Art of Enjoying Life”. Hehehe…
Dari sini, saya kemudian menemukan sebuah titik terang akan pertanyaan saya sejak 2 tahun lalu, “Bagaimana NLP bisa dinikmati oleh lebih banyak orang?”
Belajar melalui kelas Practitioner dan Master Practitioner memang dahsyat. Hanya ia begitu tersegmentasi, dan kurang accessible bagi orang awam yang belum punya kemewahan mengikuti kelas berhari-hari itu. Bahkan, saya sendiri membuktikan bahwa mengikuti kedua kelas tersebut memerlukan waktu yang tak sedikit hingga akhirnya bisa saya terapkan secara otomatis. Bukan karena rumit, melainkan karena ilmunya yang sudah sebegitu luas dan komprehensif membahas perilaku manusia, hingga perlu disesuaikan dalam sebuah konteks yang mudah untuk diimplementasikan.
Sisi lain, sebagaimana saya tulis dalam artikel terdahulu mengenai Spiritual NLP, saya merasakan NLP masih sebagai pisau, yang penggunaannya harus diarahkan sehingga menjadi manfaat alih-alih mudharat. Apalagi ia memang fokus pada struktur, dan hampir tidak mengajarkan apapun soal konten.
Semisal, bagaimana menjadi semangat? Cari pengalaman semangat, akses, amplifikasi, pasang tombol, lalu gunakan dalam konteks yang diperlukan. Tidak perlu peduli pengalaman apa yang diakses. Tidak juga perlu peduli ia akan digunakan untuk konteks apa.
Ah, kan ada pilar ekologi?
Betul. Dan apakah yang dimaksud dengan ekologi itu? Apakah ukuran sesuatu dikatakan ekologis atau tidak? Maka sampai sini tugas NLP pun selesai. Dan berlanjut pada pelajaran soal etika dan prinsip kehidupan.
Yes, Anda betul. Kesinilah saya mengarah. Saya mengajak Anda untuk menerapkan NLP sebagai alat untuk mengakselerasi diri mencapai kesuksesan yang holistik. Kesuksesan yang hanya bisa dicapai sebagai hasil dari proses kita meniti jalan menuju Tuhan.
Oh, kok tiba-tiba terdengar serius nan filosofis?
Tidak, tidak. Ini sangat praktikal, meski saya tidak menjanjikan hasil yang instan.
Loh, kok nggak instan? Bukankah instan adalah salah satu kampanye NLP?
Ah, masak sih? NLP itu, mengajarkan soal efektivitas, yakni jalan mana yang paling cepat menyampaikan pada tujuan. Maka ketika seseorang menggunakan NLP lalu berhasil menjadi kaya secara financial namun miskin secara spiritual, maka ia sebenarnya bukan jalan cepat menuju kesuksesan, melainkan jalan yang lambat. Lambat, karena ia mesti memulai lagi dari awal untuk akhirnya memahami bahwa kesuksesan bukanlah pencapaian hanya di satu aspek hidup, melainkan keseluruhan aspek spiritual, sosial, emosional, intelektual, dan finansial.
Maka memang prosesnya bisa berlangsung mulai dari hitungan bulan hingga tahun, yang takkan pernah berakhir sampai akhir hayat. Proses untuk meniti tiap jalan dalam kehidupan Anda secara alamiah, penuh penghayatan lagi kesungguhan. Sebab tidak ada satu detik pun dalam hidup, melainkan ia adalah cara Tuhan untuk mengantarkan Anda kembali.
Nah, bagaimana rupanya model ini bekerja?
Sabar. Saya akan bahas langkah demi langkah di rangkaian artikel berikutnya. Atau saat Anda sudah mulai ingin merasakan langsung pengalaman menerapkannya, silakan berkunjung ke SINI.