“Yang cepat, tak selalu nikmat.”
Makanlah hidangan lezat terburu-buru. Tentu tak lezat, sebab yang jadikan lezat memang hanya organ sepanjang beberapa senti bernama lidah. Sekali melewati lidah, selesai lah sudah. Apapun jenis makanan ia menjadi sama saja. Maka para penggemar makanan biasa berlambat-lambat dalam mengunyah, agar setiap detil rasa ternikmati sepenuh hati.
Berjalan-jalanlah di hamparan pemandangan indah dengan berlari-lari. Tentu tak nikmat, sebab yang jadikan nikmat memang menelisik tiap potongan nan tampak satu demi satu. Maka berlama-lama lah para pelancong duduk-duduk dan berbincang atau mengambil gambar demi memuaskan pandangan dengan keindahan.
Berbicaralah cepat-cepat dengan seorang nan dikasihi. Tentu tak hikmat, sebab rasa rindu tak pernah terpuaskan kecuali lewat pertukaran cerita yang mengasyikkan. Kata orang bijak, dalam urusan dengan orang terkasih, cepat adalah lambat, lambat adalah cepat.
Demikianlah beberapa cuplik episode dalam kehidupan kala kecepatan, yang kini menjadi incaran banyak orang, tak selalu menghadirkan kenikmatan, apalagi kebahagiaan. Cepat, bukanlah pengganti lambat. Cepat dan lambat, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ada tempat kala cepat diperlukan, ada tempat kala lambat lah yang lebih baik.
Telitilah orang-orang besar yang utuh kehidupannya. Tiadalah semua mereka capai kecuali melalui sebuah proses yang tak cepat. Ada hukum tani dalam setiap tangga kehidupan: kau tak bisa memanen jika belum menanam.