Merokok: Mengikis Nurani?

Pagi ini, untuk kesekian kalinya, aku duduk di hadapan seorang perokok. Ya, di hadapan. Dan dia merokok, menghembuskan asapnya dengan begitu santai, tanpa peduli orang lain di sekitarnya. Aku tersenyum, memberi isyarat dengan tangan bahwa aku terganggu dengan asap itu. Dia melihatnya, kemudian menghindarkan asap rokoknya. Tanpa senyum, apalagi permintaan maaf.

Tapi bagaimana pun, orang di hadapanku ini masih cukup lumayan. Dia masih memedulikan isyarat tanganku. Sementara pada kesempatan lain aku menemukan orang lain yang sudah kuberi tahu dengan kata-kata pun tak peduli.

Kuingat-ingat pengalaman serupa ini, amat jarang kutemui perokok yang melihat-lihat kondisi dulu baru menyalakan rokoknya. Apalagi meminta izin. Ada sih, hanya tak banyak. Itupun barangkali karena mereka adalah orang yang kenal denganku. Sementara perokok di jalanan, di tempat makan, di angkutan umum, belum pernah kutemui serupa ini.

Ya, mereka hanya menyalakan rokoknya, menghisap asapnya hingga memenuhi paru-paru, lalu menghembuskan ampasnya ke udara tanpa permisi—dan tanpa ampun.

Sempat ku bergurau dengan beberapa orang kawan yang merokok, “Mas, kalau pas mau ngerokok, baca bismillah nggak?” Mereka tersenyum, berusaha mengingat-ingat, lalu menjawab, “Iya ya. Nggak pernah tuh.”

Aku pun melanjutkan, “Mas biasanya kalau makan pakai tangan apa?” Ia menjawab, “Tangan kanan lah.” Lalu tanyaku lagi, “Loh, kok kalau merokok suka pakai tangan kiri?” Dia pun tersenyum simpul.

Beberapa kisah tadi, bagiku, merupakan simbol yang nyata bahwa merokok, disadari atau tidak, diakui atau tidak, adalah perilaku yang buruk. Ya, semua perokok tahu itu. Mereka tak menyangkal, hanya tak peduli. Bahkan satu kali ada momen yang sungguh mengherankan, ketika seorang perokok, menyalakan rokoknya di dalam sebuah angkutan umum yang sedang padat, sedang di hadapannya hadir seorang ibu hamil. Yak, Anda boleh mengernyitkan dahi.

Maka ketakpedulian ini pun membuahkan sebuah tanya dalam hatiku, “Adakah ia jalan mengikis nurani?”

Ya, nurani tahu sesuatu buruk, namun tetap dilakukan. Bukankah ia kan terkikis sedikit demi sedikit? Nurani paham, kalau akan ada banyak orang yang terganggu, bukan saja sebab tak suka, melainkan juga karena ia merusak, tapi tetap saja dihembuskan. Bukankah ia kan menipis tanpa terasa?

Maka inilah nasihatku bagi sobat-sobat yang perokok: berhenti lah. Ya, jika tak ingin nuranimu terkikis tanpa terasa, berhentilah. Kini sungguh ada banyak jalan untuk berhenti. Kuncinya ada di keputusanmu untuk berhenti.

Spread the love

5 thoughts on “Merokok: Mengikis Nurani?

  1. Iya kemaren ada bapak2 ramah banget nyapa bayiku.
    Ga lama kemudian dia merokok dekat kami… beuuuuh…
    Langsung balik kanan lah aku and my baby…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *