Sebuah obrolan bersama seorang sahabat terjadi, ketika ia bertanya, “Mas, bagaimana ya saya memotivasi anak-anak saya belajar. Mereka baru kelas 3 dan kelas 4 SD, tapi kok rasanya sudah tampak kejenuhan belajar. Padahal tugas dan tuntutan sekolah begitu tinggi.”
Saya pun berkaca demi mendengar pertanyaannya. Sebuah refleksi yang seketika
menghadirkan serangkaian panjang perjalanan pembelajaran saya selama ini. Lalu saya pun bertanya, “Boleh tahu Pak, dalam pikiran dan perasaan Bapak sendiri, apa yang muncul ketika mendengar kata ‘belajar’?”
Ia tertegun sejenak, lalu tersenyum dan menjawab, “Ya seperti, ‘Ah, harus belajar lagi.’”
Sebuah jawaban yang entah bagaimana, saya sudah menduganya.
“Jika bagi kita sendiri belajar itu bukan sesuatu yang mengasyikkan, bahkan beban, lalu bagaimana anak-anak kita akan merasakan hal yang sebaliknya?” tanya saya kepadanya, dan kepada diri saya sendiri sebetulnya.
Obrolan pun berlanjut, namun rasanya tak perlu lah saya ceritakan di sini. Mari kita berhenti sejenak di titik ini, dan merenungkan dalam-dalam, adakah kegiatan yang bernama belajar itu mengasyikkan bagi kita?
Benar memang teknologi semakin canggih. Orang bisa belajar dari mana pun, dari siapa pun, dari belahan dunia mana pun. Namun sungguh saya pernah begitu tertegun, mendapati sebuah sekolah dengan label internasional memiliki siswa yang hadir di dalam kelas tanpa ruh pembelajar. Tak ada semangat mengais ilmu, padahal segala fasilitas tersedia dengan amat mewah.
Siswa-siswa itu, saya yakin takkan mengalami kesulitan untuk mengikuti les tambahan, berbagai kursus, membeli buku atau perangkat canggih lainnya. Tapi tanpa ruh pembelajar yang berkobar-kobar setiap kali mendapati sebuah ilmu, apalah artinya?
Imam Ahmad ra, seorang ulama sejati yang namanya bersinar di sepanjang zaman, pernah berujar bahwa ilmu harus didatangi. Sebab sejatinya bukan semata kata-kata yang keluar dari lisan guru itulah yang disebut ilmu, melainkan juga setiap langkah yang diayun ketika menjemputnya.
Dan, di titik yang jauh inilah kita berdiri saat ini. Ketika semua tersedia, namun kita sedang tak berselera. Apalah jenis kurikulum ‘internasional’ yang belum tersedia di negeri ini? Tapi sungguh kita harus waspada, jika dalam hati ini tak ada gairah keilmuan yang membara.
Maka mari kita tancapkan sebuah tujuan. Yakni mengembalikan fitrah belajar sebagai keasyikan. Sebab seseorang yang merasakan manisnya ilmu, tak perlu lah digadang-gadang untuk menggalinya, ia kan memburunya. Hingga kita tak perlu risau kala anak kita belum cakap berbahasa asing atau menggunakan teknologi. Sungguh tak perlu. Mereka kan melesat dengan cepat menguasainya sendiri kala dalam dirinya tertanam ruh pembelajar sejati.
Yang kita perlu sungguh-sungguh adalah memastikan bahwa kata belajar memang hadir sesuai maknanya, tak disempitkan menjadi kegiatan di sekolah semata. Belajar adalah satu-satunya jalan keselamatan dalam hidup, maka bukalah selalu mata, telinga, dan hati akan jutaan ilmu yang bertebaran di kehidupan. Tak ada harta yang lebih berharga daripada ilmu, maka tak ada jalan yang lebih bernilai tuk dilalui selain mempelajarinya.
Keasyikan itu bernama belajar. Kegairahan itu bernama ilmu.
1 thought on “Keasyikan Itu Bernama Belajar”