“Saya agak khawatir, kalau saya melulu memberi hadiah pada anak setiap kali mereka berperilaku sesuai keinginan, nanti mereka jadi tidak punya inisiatif,” keluh seorang kawan.
Sebuah keluhan yang membuat pikiran saya merenung dalam, sebab ia pun kegundahan saya pula. Benarkah tepat mengiming-imingi seorang anak dengan hadiah? Bagaimana nanti jika ia berperilaku tergantung pada
hadiah itu? Bagaimana jika ia menjadi sangat materialistis? Bagaimana seandainya dia jadi tidak memiliki motivasi internal untuk berbuat apa yang baik bagi dirinya?
Perenungan pun sampai pada sebentuk tanya, “Adakah manusia yang tidak hidup tanpa berharap imbalan?”
Ya. Ada kah?
Terus terang, saya ragu. Sebab bukankah Tuhan sendiri mengajak manusia untuk menghindari neraka dan mendekati surga. Maka Dia Sang Maha Tahu tabiat ciptaan-Nya, pastilah memerintahkan dengan alasan yang tepat. Bahwa adalah tabiat dan fitrah manusia untuk hidup berdasarkan konsekuensi, negatif dan positif. Hindari konsekuensi positif, dekati konsekuensi positif.
Ah, bukankah ada orang yang begitu tulus hingga hidup tak mengejar materi? Bagi mereka, ada dan tak adanya harta sama saja.
Betul, tapi silakan tanya pada mereka apa yang dicari, tentulah jawabnya sebuah konsekuensi pula. Memang bukan konsekuensi material, tapi konsekuensi intelektual, sosial-emosional, atau spiritual.
Intelektual: “Uang tidak penting, asal saya bisa tetap menghasilkan karya.”
Sosial-Emosional: “Uang tidak penting, asal apa yang saya lakukan bisa membahagiakan orang lain.”
Spiritual: “Uang tidak penting, asal apa yang saya lakukan diridhai oleh Tuhan, dengan selalu berada di jalan-Nya.”
Bukankah ketiga jenis harapan di atas adalah konsekuensi pula? Hanya bentuknya lah yang berbeda. Konsekuensi material, ia tampak nyata sebagaimana benda-benda. Konsekuensi intelektual, sosial-emosional, dan spiritual, ia berada di dalam. Dan pada jenis konsekuensi inilah kita berharap manusia bertumbuh.
Kala kecil, seseorang berbuat baik mungkin sebab dijanjikan hadiah sepeda. Kala dewasa, ia berbuat yang sama sebab mengharap pahala. Kala kecil, seseorang beribadah karena ingin memiliki baju baru. Kala dewasa, ia mencari ketenangan jiwa. Kala kecil, seseorang belajar sebab berharap mainan baru. Kala dewasa, ia ingin menghasilkan karya nyata.
“Nah, bagaiman kah caranya agar seorang anak dapat bergeser pengharapan konsekuensinya? Sebab saya masih khawatir ia berhenti di konsekuensi material saja,” lanjut sang kawan tadi.
Sebuah tanya yang menggelitik, namun saya syukuri karena saya dapat belajar pula darinya. Saya pun merenungi perjalanan hidup saya, dan menelisik saat-saat diri ini mengalami pergeseran pengharapan.
“Setiap konsekuensi, negatif atau positif, sebenarnya netral saja. Yang menjadikan ia bermakna, ya makna yang kita selipkan saat memberikannya. Maka setiap kali memberikan sebuah konsekuensi, ingatlah tuh juga menyisipkan pemaknaan pada sang anak, agar ia memahami bahwa konsekuensi material tak bermakna hanya materi.”
Semisal, kita memang menjanjikan seorang anak hadiah sepeda jika nilainya memenuhi syarat. Saat hadiah itu diberikan, ingat untuk berkata penuh kasih, “Nah, kamu paham kan, kalau setiap kali kamu bekerja keras untuk mencapai sesuatu, hasilnya akan kelihatan?”
Dalam kesempatan lain, kita memberi seorang anak hadiah sebab ia telah membantu adiknya, ingat untuk tersenyum dan berkata, “Terima kasih ya kamu sudah mau membantu adikmu. Ini hadiah kamu pasti senang. Tapi coba lihat wajah adikmu. Betapa senangnya ia kamu bantu.”
Atau kala konsekuensi negatif yang kita berikan, “Nak, sekedar dipotongnya uang saku ini tak seberapa kan, dibandingkan dengan rasa penyelesalan kamu karena tidak menjalankan kesepakatan kita membersihkan rumah. Rumah kita jadi kotor, tidak nyaman, bahkan untuk kamu sendiri.”
Demikianlah, konsekuensi bisa punya banyak dimensi. Banyak makna. Kita lah yang mesti dengan cerdik meramu konsekuensi apa yang tepat, berikut makna yang akan kita tanamkan di dalamnya.