“Sadarilah, pekerjaan bukanlah beban. Ia adalah kehormatan yang diberikan Tuhan kepadamu.”
Ada sebagian insan yang kala pengangguran, berjibaku mencari pekerjaan. Lalu setelah pekerjaan diraih, tak juga ia puas dan terus saja mengeluh, berharap keluhan itu kan mengantarkannya pada pekerjaan baru yang lebih baik. Menariknya, insan semacam ini, kala ditanya tentang pekerjaan apa yang akan memuaskan hatinya dan menghentikan keluhnya, tak sanggup menjawab. Jawaban yang acap muncul bukanlah mengenai pekerjaan, melainkan hasil yang didapat dari pekerjaan: gaji besar, fasilitas lengkap, dsb. Ah, ia mungkin lupa pada hukum alam bahwa ada kewajiban di balik tiap hak. Ada harga yang layak di balik kebaikan rupa.
Insan demikian, barangkali silap bahwa pekerjaan bukanlah semata soal hasil nan didapat. Sungguh merugilah ia yang sibuk memeras keringat, hanya demi sesuap nasi atau segenggam berlian. Sebab seindah apapun hasil, takkan sanggup menghadirkan kebahagiaan barang setitik.
“Adalah kebahagiaan, lahir dari apa-apa yang kita kerjakan.”
Ya, kebahagiaan adalah sebuah sensasi yang dinamis. Dan sebagaimana layaknya sesuatu yang dinamis, ia hadir dari rangkaian gerak, bukan diam. Pertahankanlah wajah dalam diam, sanggupkah kita bahagia? Tapi gerakkanlah ia dalam senyum, dijamin terbit seketika.
Maka mustahil diri ini bahagia, jika tak melakukan apa-apa. Kebahagiaan justru dirasakan kala tubuh dan jiwa bergerak bersama mengerjakan hal-hal yang bermakna. Ya, makna adalah kata kuncinya. Sebab tabiat jiwa adalah mencari makna-makna. Rutinitas yang menderu, namun hampa makna, takkan sanggup gairahkan jiwa. Namun seketika sebuah makna menyelinap di dalamnya, jadilah ia penghilang jemu, sebab setiap langkah selalu dirasa sesuatu yang baru.
Demikianlah, insan yang dianugerahi kesadaran, akan tercerahkan bahwa tiap pekerjaan adalah kehormatan. Bagaimana tidak? Bukankah pengaturan Tuhan begitu sempurna? Sebegitu sempurna, hingga tak ada satu pun perkara di muka bumi terjadi kecuali atas izin-Nya, dan karena itu setiap perkara penting nan mulia adanya? Maka kita, ya kita, sang pengemban pekerjaan ini, pun adalah insan yang dimuliakan.
Di titik ini, mari berhenti sejenak dan mencermati pekerjaan yang kita miliki. Siapa kita, tanpa apa yang kita kerjakan? Mungkinkah orang kan memandang diri yang tak mengerjakan apapun?
Lalu pekerjaan kita, adakah ia telah kita perlakukan layaknya sebuah kehormatan? Adakah kita pun telah menjalankan amanah layaknya seorang yang terhormat?