Milik Siapa kah Impianmu?

“Aku lelah punya impian. Tak satupun yang terwujud. Jangankan terwujud, keinginan untuk memulai pun tak timbul,” ujar seorang kawan.

Saya pun bertanya, “Milik siapa kah impianmu?”

“Ya, milik ku lah,” jawabnya dengan agak terkejut.

“Yakin? Bukan milik orang tuamu, kawan-kawanmu, atau masyarakat?” tanya saya.

Berhenti sejenak, ia berkata, “Hmm.. Sebenarnya beberapa impianku itu memang tidak benar-benar kuinginkan. Aku hanya merasa itu baik dan menantang. Tapi setelah kucoba jalani, semangat pun tidak.”

Saya pun tertegun, dan kembali teringat ungkapan dari seorang psikiater kenamaan Victor Frankl, “We detect, rather than invent, our mission in life.” Sejatinya kita tidak perlu menciptakan misi hidup, kita hanya perlu mendeteksinya.

Ya, saya sering mengajak diri saya dan para sahabat untuk tidak sekedar memiliki impian. Tapi memiliki impian yang sekaligus adalah misi hidup. Kata misi, memiliki makna yang berbeda dari impian, dan karenanya ia lebih dalam. Misi, sering dikatakan sebagai alasan keberadaan kita. Misi pribadi, adalah alasan keberadaan kita di dunia. Misi organisasi, adalah alasan keberadaan organisasi kita di dunia. Impian yang sekaligus misi berarti sebuah tujuan besar yang setiap usaha mencapainya adalah usaha untuk menyelesaikan alasan keberadaan kita di dunia.

Maka amat benarlah perkataan Victor Frankl, bahwa proses merumuskan misi hidup adalah proses mendeteksi, bukan menciptakan. Bukankah Tuhan sedemikian sempurna dengan pengaturanNya, hingga tak mungkin lah kita tercipta tanpa sebuah tujuan yang unik dan tak tergantikan? Ibarat puzzle, kita adalah potongan di antara ratusan potongan lain, yang ketika digabungkan akan membuat sebuah gambaran indah. Kita adalah potongan spesial, yang memiliki sebuah tempat yang spesial pula.

Pertanyaannya kemudian adalah: potongan seperti apa kah kita? Seberapa besar? Untuk tujuan apa potongan ini ada?

Mendeteksi impian dan misi hidup seperti ini akan menjadikan kita penuh daya, sebab tidak lah Tuhan ciptakan diri dengan tujuan, melainkan pula telah Ia berikan bekal untuk mencapainya. Kita adalah pemimpin untuk misi kita. Dalam bahasa Arab, pemimpin kadang diistilahkan dengan kata khalifah, yang juga bermakna wakil. Kita adalah wakil Tuhan di muka bumi. Mungkinkah seseorang menjadi wakil, sedang ia tak dibekali apapun?

“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.

“Menyendiri lah. Mohonlah pada Tuhan untuk memperjelas jalanmu, tugasmu yang kau diciptakan untuk itu. Kadang tanda-tandanya telah terlihat. Dalam bakatmu, dalam hal-hal yang dengan senang hati kau lakukan meski tanpa imbalan yang jelas. Dalam hal-hal yang dengan alamiah bisa kau kerjakan meski tanpa pembelajaran khusus.”

Benar, kita perlu belajar dari orang lain. Tapi tak perlu kita menjadi orang lain. Mungkin ada orang yang telah mencapai apa yang kita impikan, maka kejarlah ilmunya, kebijaksanaannya. Namun tak perlu berusaha untuk menjadi seperti dirinya. Sebab ia dan kita, diciptakan untuk misi yang berbeda, di jalan yang sama.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *