“Salah satu ciri sebuah impian atau misi hidup yang efektif,” ujar Stephen R. Covey, “adalah kemampuannya memberikan arah dan tujuan. Ia adalah alat bantu untuk membuat keputusan-keputusan besar dan kecil.”
Maka salah satu cara ampuh untuk mengetahui apakah impian kita memang benar-benar milik kita, adalah kemampuannya untuk menginspirasi kita membuat pilihan, setiap kali kita berada di persimpangan. Dalam bahasa masa kini, impian adalah obat anti galau.
Tesis ini menarik untuk diselami, sebab saya acapkali menemui kawan-kawan yang sering galau—bukan hanya sesekali, tapi sering—adalah orang-orang yang kiranya tak memiliki impian yang jelas. Sebab tak ada hal besar yang sedang dikejar, sibuklah ia dengan semak-semak kecil yang bertebaran di sekitar. Mudah nian fokusnya teralihkan, sebab tak ada tangga yang ia genggam dengan erat.
Sisi lain, sobat-sobat yang mudah kembali ke jalan yang benar setiap kali galau melanda, adalah mereka yang setiap hari mampu melihat, mendengar, dan merasakan impian besar menunggunya di hadapan. Sedemikian besar dan bercahaya impian itu, hingga menyilaukan mata mereka dari hal-hal remeh di sekeliling. Sobat-sobat ini, tak punya waktu untuk bergalau ria lama-lama, sebab mereka terlalu sibuk dengan impiannya.
Demikianlah, pastikan impian yang kita miliki, adalah ia yang selalu mampu memberi arah. Jika ia tak mampu lagi, segera lah revisi. Impian saya sendiri telah mengalami 2 kali revisi, alias yang kali ini saya pegang adalah versi ke-3. Versi pertama bernuansa materialistik, yang sempat bekerja selama beberapa lama, lalu padam lah nyalanya. Versi kedua bercita rasa emosional, bertahan agak lebih lama, namun melemah jua cahayanya. Versi ketiga ini berarah spiritual, dan sampai saat ini masih memendam getaran yang belum tampak tanda akan habisnya.