“Berqurban lah sepenuh jiwamu. Agar terputus kecintaan pada apa-apa yang sementara.”
Sungguh miris kutengok diriku. Untuk sebuah gadget, hampir tak pernah ku berpikir panjang membelinya, kala memang dibutuhkan dan dana tersedia. Tapi ketika tiba lah seruan untuk berqurban, selalu saja jiwa ini lemah, dan mencari alasan kuat hingga akhirnya bisa melakukannya. Ya, aku pun berqurban, namun kucermati jiwa ini masih jauh dari kerelaan. Kutandai bahwa ia menurut sebab keterpaksaan.
Kurenungi, hampir semua ibadah memang mendidik jiwa untuk rela tak terikat pada apa-apa yang tampak, apa-apa yang sementara. Jiwa, yang sejatinya merindu untuk kembali pada Penciptanya, acapkali terkalahkan oleh nafsu sesaat, hingga terdorong untuk memiliki rabun jauh. Ia melihat yang ada di hadapan semata. Lupa pada perjalanan panjang yang pasti kan dilaluinya.
Tengoklah shalat. Begitu sibuknya kita dengan aktivitas, lalu ‘dipaksa’ lah diri ini tuk menghadap, dan memutus kelekatan pada kesibukan itu.
Lalu tengok pula puasa. Begitu nikmatnya keseharian dengan minum dan makan, lalu ‘dipaksa’ lah diri ini tuk berhenti, dan menikmati rasa lapar ini.
Nah, pada qurban lah kita renungi, bahwa jiwa ini terlumuri oleh nafsu hewani, yang agar bersih darinya, perlu lah kita ‘sembelih’ setahun sekali.
Maka wajarlah jika dianjurkan kita berqurban dengan memotong hewan sendiri. Pun jika tak sanggup, paling tidak melihatnya disembelih. Atau jika di era modern ini kita berqurban lewat lembaga penyebar hewan qurban, setidaknya cari lah lokasi di sekitar rumah untuk menengok penyembelihan disana.
Lihatlah hewan itu, dan pikirkan lumuran dosa dalam jiwamu. Lalu kala takbir berkumandang, dan lehernya disembelih, rasakanlah pedihnya dalam jiwamu. Rasa pedih jiwa yang dibersihkan, disucikan, diputuskan dari ikatan kesementaraan. Dan tunduk. Tunduklah di hadapan kebesaran namaNya, kuasaNya.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu lah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Kadang kita terlalu asik dengan games yang sedang berlangsung tapi bila permainan hampir usai kita panik akan waktu habis
Jikalau kita selalu ingat dan dingatkan dan sudah seharusnya kita harus saling mengingatkan dalam kebajikan
Rasanya pak teddi selalu mengingatkan diri sendiri untuk kebajikan orang lain
Terimakasih