Adalah Erich Fromm, psikolog kenamaan asal Jerman itu yang menulis sebuah karya bertajuk “To Have or To Be”. Sebuah karya yang menggelitik penglihatan saya zaman kuliah dulu. Bukan saja karena ia memiliki pandangan berbeda dibanding para tokoh alumni psikoanalisa lainnya, tapi juga sebab gaya menulisnya yang bercita rasa sastra. Namun saya tak sedang ingin membahas soal Fromm saat ini. Saya ingin menulis tentang tajuk bukunya saja, yang belakangan saya merasa menemukan sedikit pemahaman baru. Setidaknya baru bagi saya.
Dari Memiliki ke Menjadi
Pertumbuhan kita pada umumnya berawal dari kenginan untuk memiliki. Menggenggam apa yang kita inginkan, melihatnya menjadi milik di hadapan. Maka kegembiraan insan di tahap ini berasal dari keberhasilan mengumpulkan beragam cita-cita, berjuta hal yang tampak. Harta dan tahta, kata orang, adalah tema-tema yang acapkali ramai menjadi bahasan.
Namun sebagaimana banyak nasihat akan kefanaan dunia, keterbatasannya dalam menghadirkan kebahagiaan, akan ada masanya kala kepuasan diri terhenti dari tahap serupa ini. Yakni berlebihnya uang, rumah, kekayaan, jabatan, tak menyisakan barang sedikit kebahagiaan yang hakiki. Kesenangan, ya. Kebahagiaan, tunggu dulu.
Di titik inilah, seseorang yang terus bertumbuh akan mulai menapaki ranah yang selama ini tak mereka sentuh. Sebuah keseharian yang terlewatkan di masa-masa pencarian: menjadi. Kita boleh memiliki kekayaan, tapi belum tentu menjadi orang kaya. Kita boleh memiliki kekasih kecintaan, tapi belum tentu menjadi seorang pecinta. Kita boleh memilih sekian banyak kesenangan, tapi belum tentu mudah untuk menjadi senang.
Apa pasal?
Ya, sebab menjadi, memang tak berhubungan langsung dengan memiliki. Menjadi kaya, adalah urusan batin. Ia berasal dari dalam, terpancar ke luar. Ciri-ciri tahap ini adalah keberaniannya untuk mengatakan: cukup. Ya, kata kuncinya bulan lebih, tapi cukup. Sebab yang lebih, sejatinya memang tak diperlukan, sehingga wajar jika tak hadirkan kebahagiaan. Bahkan, yang lebih, justru seringkali datangkan kehampaan, jika ia sejatinya adalah milik orang lain.
Dari Menjadi ke Kontribusi
Pernah saya berpikir, bahwa ‘menjadi’ adalah tahap akhir perjalanan jiwa seseorang. Bahwa inilah puncak pertumbuhan insan. Bagaimana tidak? Orang yang menjadi, telah berhasil melepaskan diri dari keterikatan semu. Ia bebas dan merdeka, tak terbelenggu oleh apa-apa yang tampak semata. Namun belakangan, sebuah rasa aneh menelusup dalam hati saya. Ada yang kurang dari seseorang yang ‘menjadi’. Ia sejatinya masih memiliki kemiripan dengan tahapan ‘memiliki’, hanya berbeda bentuk.
Cukup lama perenungan ini berlangsung, hingga sebuah jawab mulai menampakkan dirinya. Antara ‘memiliki’ dan ‘menjadi’, ianya sama, yakni masih berfokus pada diri. Bagaimana sang diri merasakan kesenangan dan kebahagiaan. Maka meski seseorang yang ‘menjadi’ telah bebas dari apa yang tampak, ia masih belum terbebas dari ego yang samar. Artinya, masih ada ruang yang belum terjamah.
Ah, ruang apa kah itu?
Ya, ruang itu adalah berkontribusi.
Insan yang berkontribusi, tak lagi memikirkan dirinya. Ia berada pada keyakinan bahwa kebahagiaannya telah terjamin, terpenuhi. Maka tak perlu lah ia mencari-mencari, dari apa yang tampak maupun tak tampak. Ia hanya ingin memberi. Bukan sebab memiliki, namun sebab ia dititipi.
Seorang yang berkontribusi, mengimani bahwa dirinya adalah jalan bagi tersebarnya kebaikan. Tak lebih. Kalaupun ia diberi kehebatan, bukanlah untuk dipamerkan, pun sekedar dinikmati sendiri. Kehebatan itu, adalah tanda semakin banyaknya amanah yang dititipkan melalui tangannya. Tak betah lah ia berlama-lama menahan apa yang ada di genggaman, sebab itu bukanlah miliknya.
Ciri orang dalam tahap ini adalah kepercayaan diri yang pas. Tak kurang, tak lebih. Sebab orang yang kurang percaya diri, berarti masih bergelayut di dalam keinginan ‘memiliki’. Ia tak yakin Tuhan ciptakan ia sesempurnanya ciptaan. Sedang orang yang berlebih percaya diri, umunya sebab ia masih menikmati tahapan ‘menjadi’. Ia sibuk menyelami kemerdekaan yang baru dialami.
Nah, para penghuni tahap ‘kontribusi’, adalah mereka yang telah melewati kesemuanya. Yakin ia bahwa Dia ciptakan dirinya sesempurnanya ciptaan, yakin pula ia bahwa perannya hanya sepotong di kehidupan yang luas ini. Ia adalah satu bagian kecil, dari sekian banyak bagian lain yang juga telah Dia ciptakan dengan sempurna. “Tidaklah aku diciptakan, hanya untuk menundukkan diriku,” ucapnya dalam hati. Ya, menundukkan diri adalah sebuah kehormatan, dan kemuliaan. Sebab yang ditunduki memang bukan sembarang zat, melainkan Zat yang kepadaNya lah bermuara segala sesuatu.
Inilah, mungkin, tahap kemerdekaan sejati. Tahapan yang—berbeda dengan tahapan sebelumnya—memiliki ruang tak berbatas. Kebahagiaan di dalamnya, adalah kebahagiaan hakiki, yang meningkat seiring perjalanan mendekatkan diri. Wajarlah, para pendaki pun kerap berkata, “Sungguh perjalananku yang lalu hanyalah permainan dan senda gurau belaka.”