Aku sedang gandrung dengan film bertajuk Umar. Serial kolosal ini sungguh memberikan gambaran yang—menurutku—cukup detil tentang perkembangan Islam di masa awal. Dan sebagai pencari di jalan kepemimpinan, perkembangan Islam telah melahirkan begitu banyak tokoh yang menyejarah, mengajarkan tentang kepemimpinan otentik. Ya, kepemimpinan yang tak sedikit pun memilik embel-embel duniawi. Murni, semurni-murninya niat.
Ku teringat salah satu adegan, kala dikisahkan Rasulullah SAW baru saja meninggal, lalu para sahabat segera berinisiatif berkumpul tuk membahas soal kepemimpinan sepeninggal beliau. Berdebatlah dua sahabat terdekat Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar, saling menuding satu sama lain yang lebih layak memimpin. Dan sampai lah pada sebuah dialog yang begitu merasuk dalam hatiku, kala Abu Bakar ra berucap, “Kau lebih kuat dariku.” Sahabat mulia ini memang terkenal lembut, meski keteguhan imannya tak ada yang berani meragukan, hingga digelari beliau dengan Ash Shiddiq.
Lalu apa jawab Al Faruq?
“Jika ada kekuatan pada diriku, itu adalah untuk mendukungmu.”
Jleb! Akankan diriku mengucapkannya kala disodori jabatan? Ah, rasanya begitu jauh aku dari kepemimpinan semacam ini. Jelas, Umar adalah insan yang amat pantas menjadi pemimpin umat. Dan tak berapa lama setelah itu memang tiba lah gilirannya. Namun mungkin dalam hatinya tak terbersit sedikit pun keinginan, melainkan justru ketakutan, sebab sebegitu pahamnya akan apa nan akan dipertanggung jawabkan.
Maka ucapan itu jelas bukanlah ucapan sebab kebesaran hati. Bukan ucapan legowo sebab yang terpilih adalah orang lain. Kalimat mulia itu adalah kalimat yang lahir dari pemahaman hakikat kepemimpinan yang begitu mendalam. Kepemimpinan, adalah urusan kolektif. Meski sang sahabat mulia terpilih, Abu Bakar ra, adalah orang yang amat layak, namun ia tak lepas dari kekurangan, yang karenanya menjadi ruang bagi sahabat lain untuk mengisi.
“Jika ada kekuatan pada diriku, itu adalah untuk mendukungmu.”
Betapa dalam hakikat kalimat ini. Sungguh bukan kebetulan kita diciptakan, apalagi semata-mata untuk kesia-siaan. Kita diciptakan dengan sebuah tujuan, dan tugas kita lah tuk memenuhi tujuan itu. Maka kekuatan yang kita miliki, selalu memiliki ruang untuk digunakan dalam kebaikan, apapun posisi yang diamanahkan pada diri. Jika diamanahkan kepemimpinan, maka pimpinlah dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, maka dukunglah siapapun yang berada dalam kebaikan, dengan kesungguhan yang sama. Sebab bisa jadi, di situ lah tugas kita berada. Tak ada beda siapa yang di depan dan di belakang, kecuali pada ketaatan.
Ya, baru aku mulai paham. Kepemimpinan, sejatinya adalah soal menunaikan tugas. Menjaga organisasi, menggerakkan pengikut. Bukan soal siapa yang merasa layak menjadi pemimpin. Maka jadilah pemimpin, dimana pun berada. Katakan pada siapa pun yang di depan, “Inilah kekuatanku, dan selama kau ada dalam kebaikan, maka kekuatan ini adalah untuk mendukungmu.”