“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata,” ujar sang murid mulia, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, “Lihatlah Musa as pernah melemparkan alwah (kepingan-kepingan) besi kalamullah yang ditulis dengan tangannya sendiri, kemudian memecahkannya, menjambak jenggot seorang nabi seperti dirinya, Harun, menampar malaikat mau sehingga copot, memprotes Allah pada malam Isra’ berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW, sementara itu Allah bersabar menghadapi semua tindakan yang dilakukannya tersebut, bahkan mencintan dan memuliakannya. Karena dia telah melaksanakan tugas besar di jalan Allah dalam menghadapi musuh-Nya, dan menghadapi umat Qibthi dan Bani Israil dengan perjuangan berat. Karena itu urusan ini hanyalah ibarat sepotong rambut di lautan.”
Demikian urai sang ulama besar, dalam kitab beliau nan indah, Madarijus Salikin. Bahwa tak pelak dipahami bahwa adalah tabiat manusia untuk tergelincir dalam kesalahan. Namun sebagaimana Sang Nabi SAW pernah menasihatkan, iringilah keburukan dengan kebaikan. Bukan dengan maksud lalai, namun kebaikan yang disungguhi, mampu menutupi keburukan yang tak disengaja.
Keburukan itu membekas. Dan pembasuhnya adalah kebaikan. Persis seperti noda yang terciprat pada pakaian, lalu terhapus akibat sabun dan air.
“Lain kisah dengan Yunus bin Matta (Nabi Yunus AS),” urai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lagi, “yang tak memiliki kedudukan agung seperti Musa. Sekali saja ia membuat marah Tuhannya, ditangkapNya dan dipenjarakan dalam perut ikan. Allah tak memberinya toleransi seperti yang diberikanNya pada Musa.”
Maka perhatikanlah, wahai diri, diri ini yang kelak kan kembali pada Allah tanpa kebaikan-kebaikan yang memadai. Padahal dosa tak pernah henti terekam, mungkin sebanyak helaan napas. Lalu adakah alasan lain tuk tak bersungguh-sungguh berkebaikan?
Sungguh Dia Maha Pemurah. Dijadikannya setiap detil lelaku seorang mukmin sebagai ibadah, sejauh diniatkan dalam hatinya, semata-mata sebab kita memang selalu berkejar-kejaran di antara kebaikan dan keburukan. Tertampak berbuat baik, namun riya kiranya terbit. Terdengar khusyuk, namun ujub kiranya terbersit.
“Tak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” ungkap Sang Nabi SAW kala ditanya apa sebab masih teguhnya beliau berdiri shalat malam hingga kaki bengkak. Ya, beliau bersih dari dosa, sebab memang terjaga. Maka ibadahnya adalah wujud ketundukan, kesyukuran. Tapi kita? Sungguh jauh. Sungguh jauh. Kita masih teramat layak untuk beribadah sebab rasa takut.
Persis seperti nasihat lain beliau SAW, “Jika kalian bisa melihat apa yang aku lihat, niscaya kalian akan lebih sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.” Ya, malasnya diri ini, memang sebab tak mengenal apa yang akan menimpa. Sedikit saja berkenalan, niscaya air mata ini takkan henti mengalir.