Aku makan di sebuah restoran cepat saji. Seraya mengantri, pandanganku tertuju ada sebuah tulisan sebesar poster ukuran A3. Dalam poster itu, tertulis “Melayani dengan hati”. Di bawah kalimat itu, ada kalimat lain yang kurang lebih berbunyi, “Jika petugas kami tak melayani dengan senyum, maka pesanan Anda gratis.”
Wah, insting pelangganku langsung beraksi membaca kata
terakhir itu: gratis! Mataku pun menatap para petugas, mencari celah mereka yang tak tersenyum.
Tibalah giliranku mendapatkan pelayanan. Dan aku pun harus kecewa, karena ia yang melayani pesananku tersenyum. Hehehe…
Selepas memesan, sebuah perenungan hadir dalam diriku. Ya, kalimat dalam poster itu, yang dipasang oleh sebuah perusahaan besar dengan pengalaman puluhan tahun di bisnisnya, sungguh menggelitik pikiran.
Apa pasal?
Ya tulisan itu tadi. Tulisan yang mungkin dimaksudkan sebagai komitmen kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan dengan ramah, namun menurut pemahamanku, ia justru bisa berfungsi sebaliknya. Bagaimana tidak? Dari sisi pelanggan, ia sungguh menggoda. Tapi bagaimana dari sisi para petugas yang melayani? Tidakkah ia sebenarnya hanyalah sebuah ‘ancaman’ dengan nada yang halus? Kalimat yang tertulis itu, dalam pikiran pendekku, bisa terkesan berbunyi, “Awas, jangan lupa senyum. Kalau tak senyum, dan harus memberi pelanggan makanan gratis, siap-siap gaji kalian dipotong.”
Ah, mungkin ini memang hanya pemahaman kerdilku semata. Namun adakah sebuah pelayanan diberikan cuma-cuma, tanpa ada perhitungan biaya dibaliknya?
Maka kesan ‘ancaman’ ini pun kemudian berkembang menjadi sebuah tanya, “Mungkinkah sebuah senyum penuh perasaan, yang tercurah dari hati, hadir di bawah bayang-bayang ‘ancaman’ seperti ini?” Sedikit pikir sederhana: rasanya tak mungkin. Itu jika memang kalimat ‘melayani dengan hati’ merupakan sesuatu yang dipahami dengan sungguh-sungguh.
Melayani dengan hati, hingga apa yang ada dalam hati itu tak sabar menyeruak keluar ke setiap sudut diri. Sebab hati ada dalam tubuh, maka apa pun yang ia rasakan kan tampak demikian jelasnya. Cobalah ingat kali terakhir melihat seseorang tersenyum, namun kita tahu ia sedang bersedih. Darimana kita tahu? Ya tahu saja. Sebab meski sama-sama bernama senyum, kiranya senyum dalam kesedihan, berbeda jauh dengan senyum dalam kebahagiaan.
Nah, kembali ke soal poster ‘ancaman’ tadi, seperti apa kah kiranya senyum yang muncul dari wajah para petugas? Ya, senyum SOP. Alias, senyum sesuai dengan Standard Operations Procedure. Beberapa kawan mengajarkan, senyum SOP ini senyum 227. Yakni, 2 cm ke kiri, 2 cm ke kanan, ditahan selama 7 detik. Ah, sungguh unik. Aku hanya penasaran, bibir siapa kiranya yang bisa melebar 2 cm ke kanan dan ke kiri. Hehehe…
Senyum SOP, adalah senyum yang standar. Tampak manis, jika yang tersenyum memang sudah dari sananya manis. Tapi akankah ia senyum dari hati, yang kemudian terasa pula di hati orang yang melihatnya? Tunggu dulu. Aku punya resep sederhana untuk menguji apakah senyum kita berasal dari hati yang tulus atau tidak. Tersenyumlah pada seseorang, lalu perhatikan apakah ia membalas senyum itu. Ya, memang tak semua orang berada dalam suasana hati yang pas untuk membalas senyum. Tapi kalau senyummu berasal dari hati, kujamin, amat jarang kemungkinan tak berbalas. Nah, maka ketika senyummu tak berbalas, bisa jadi memang ia tak hadir dari ketulusan hatimu. Dengan cara ini aku pun mudah mengenali bahwa senyum para petugas di restoran cepat saji itu bukan lah dari hati. Sebab aku tak tergerak untuk membalasnya.
Lalu tanya lain pun terbit, “Kemudian bagaimana dong caranya agar niat melayani dengan hati ini benar-benar dapat terwujud dalam perusahaan?”
Perusahaan, organisasi, persis seperti tubuh. Apa yang tampak di luar, adalah cerminan apa yang tampak di dalam. Maka pelayanan karyawan pada pelanggan, adalah cerminan bagaimana mereka dilayani di dalam perusahaan. Jika yang mereka rasakan selama bekerja adalah ketentraman, antusiasme, persaudaraan, itu lah yang kan mereka suguhkan pada pelanggan. Namun jika sebaliknya, ya paling banter senyum dan layanan SOP itu lah hasilnya.
Maka membangun budaya pelayanan dengan hati, jelas tidak cukup dengan mengajarkan senyum SOP. Aku teringat pengalaman makan di sebuah restoran yang pelayannya acapkali memberikan komentar atas pilihan pelanggan dengan semisal, “Pilihan yang tepat Pak, di siang hari yang panas seperti ini.” Meskipun dimaksudkan sebagai jalan interaksi antara pelayan dan pelanggan, nada bicaranya terkesan aneh di telingaku, sebab ia memang standar semata. Terbukti, tak perlu waktu hitungan bulan hingga standar itu kemudian kudapati tak dijalankan lagi.
Lagi-lagi, apa yang dilakukan pelayan pada pelanggan, hanyalah buah dari apa yang biasa mereka dapatkan di dalam perusahaan. Adakah mereka biasa saling menyapa? Adakah mereka diperhatikan kesejahteraannya secara utuh? Adakah mereka dibangkitkan potensi terdalamnya? Adakah mereka difasilitasi untuk berkespresi? Adakah mereka dianggap—sampai dengan secara sistemik—sebagai keluarga dan pemilik perusahaan?
Jika jawabnya adalah ya, maka tak perlu ‘ancaman’ untuk membuat mereka bekerja penuh keramahan.