Cukup sering saya kembali dari sebuah perjalanan pada tengah malam, mengakibatkan kurang tidur pada malam tersebut. Beberapa kali saya tergoda untuk menambah tidur setelah shalat subuh jika waktu memungkinkan, hanya untuk mendapati bahwa tidak sedikit pun kesegaran saya dapatkan. Tidur setelah subuh, kata beberapa pakar kesehatan, memang merupakan kebiasaan yang harus dibuang jauh-jauh. Saya tak ingat persis penjelasan ilmiahnya, namun demikianlah saya dapati kenyataannya.
Lalu bagaimana ‘membayar hutang’ tidur seperti ini?
Ya dengan tidur lebih awal pada malam hari. Tepatnya, setelah shalat isya. Pernah saya mendengar, bahwa shalat isya, dahulu memang merupakan shalat sebelum tidur. Tidur lebih awal, bangun lebih awal, adalah kaidah tidur yang memang manjur. Jika memang ada banyak hal yang harus dikerjakan pada malam hari, maka tidur lah lebih awal, lalu bangun lebih awal untuk mengerjakannya.
Tapi bagaimana lagi? Memang saya amat mengantuk setelah shalat subuh. Serba salah. Mata mengantuk, tubuh perlu istirahat, tapi jika tidur malah tak segar.
Nah, di titik ini lah saya belakangan baru mendapati kelirunya pemahaman saya tentang istirahat. Istirahat, dulu, begitu identik dengan tidur bagi saya. Padahal, istirahat sebenarnya adalah sebuah istilah umum yang mencakup beragam kegiatan mengambil jarak dengan rutinitas, untuk mengisi energi, sebelum kemudian menjalankannya kembali dengan semangat yang terbarukan. Maka ada istilah lain terkait, rekreasi, yang memiliki makna re-kreasi, alias mengkreasikan ulang. Kegiatan yang bernama rekreasi, sebenarnya adalah cara untuk menikmati keseharian dengan sudut pandang-sudut dengar-sudut rasa yang berbeda, sehingga memampukan kita tuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih baik.
Dari pemahaman inilah saya kemudian mendapati bahwa untuk beristirahat, kita tak harus berhenti berkegiatan. Kita bahkan perlu untuk tetap bergerak, namun dengan irama yang berbeda. Teringatlah saya pada sebuah hikmah yang mengatakan, “Mengapa menurut Anda jantung kita tak pernah berhenti berdetak? Sebab fitrah kita memang terus bergerak. Diamnya kita, seperti diamnya jantung, berarti kematian.”
Maka saya pun kemudian mulai mengisi istirahat dengan beragam aktivitas yang dapat saya kerjakan dengan rileks. Membaca dan menulis adalah menu wajib. Bercengkarama dengan keluarga ibarat makanan pokok. Melakukan ibadah-ibadah tambahan seperti mengisi bensin ruhani. Dan, ah, satu lagi: berpikir. Ya, saya senang sekali memikirkan sesuatu yang berujung pada pemahaman baru akan beragam hal-hal lama.
Bagaimana dengan olah raga? Nah, ini jelas penting, meski saya memang termasuk orang yang harus memaksa diri untuk melakukannya. Demi kesehatan tubuh lah saya tetap melakukannya, dalam batas minimal. Hehehe… Maka untuk menikmatinya, saya memilih untuk mengkombinasikannya dengan kegiatan lain seperti berpikir. Saya katakan pada diri saya bahwa saat berjalan-jalan itulah, akan ada banyak ilmu baru yang akan saya dapat.
Demikianlah beberapa kegiatan istirahat saya. Bagaimana denganmu, Sobat?