Kisaran sebulan lalu, saya tergerak untuk membaca kembali buku klasik karya Warren Bennis—bersama Burt Nanus, bertajuk Leaders: Strategies for Taking Charge. Karya klasik ini bisa dikatakan salah satu karya terbaik Bennis, mendampingi karya lainnya On Becoming a Leader. Dan berbekal semangat meluap-luap, saya meniatkan diri untuk menulis rangkaian artikel membahas kedua buku tersebut. Selain sebagai catatan belajar, saya berharap artikel-artikel ini juga bisa bermanfaat untuk siapa saja yang berminat membacanya.
Warren Bennis adalah pakar kepemimpinan yang disebut-sebut memprakarsai lahirnya bidang studi ini. Persis seperti Peter Drucker yang dikatakan pendiri bidang studi manajemen. Seorang profesor di University of Southern California, Bennis dikenal karena karya-karyanya yang begitu kaya, berbasis riset, namun sekaligus praktis dan mudah dipahami oleh para praktisi. Menurut situs pribadinya, BusinessWeek pernah menyebutnya sebagai satu dari sepuluh profesor yang memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis. Dan bukunya yang akan saya bahas kali ini, Leaders, dinobatkan sebagai 1 dari 50 buku terbaik sepanjang masa oleh The Financial Times. Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kisah pribadi Bennis, silakan menyimak Still Surprised, memoar yang mengisahkan kehidupan begawan kepemimpinan ini.
Leaders sejatinya merupakan intisari dari sebuah studi yang dilakukan Warren Bennis dan Burt Nanus terhadap 90 pemimpin puncak dari beragam bidang. Ini yang menarik. Kebanyakan buku tentang kepemimpinan—pun kata kepemimpinan itu sendiri—di masa kini sangat berasosiasi dengan bisnis. Atau paling dekat soal politik. Padahal, dalam banyak bidang kita akan menemui para pemimpin hebat, sebagaimana kita memerlukan para pemimpin handal dalam setiap bidang kehidupan. Maka karya pionir di bidangnya ini merupakan rintisan yang amat perlu untuk diteruskan, mengingat masa kini adalah masa yang –kata sebagian orang—masa krisis kepemimpinan.
“Kepemimpinan,” buka Bennis, “adalah kata yang begitu banyak dibicarakan orang. Para birokrat berpikir mereka memilikinya, para politilisi berpikir mereka telah menjalankannya. Namun banyak orang akan setuju bahwa kita akan sulit menemukannya saat ini.”
Ya, kita memiliki banyak orang pandai. Tapi tak semua orang pandai itu memiliki kemampuan memimpin. Kalaupun punya, tak semuanya mengarahkan pengikutnya pada arah yang benar. Tengoklah orang-orang besar dalam sejarah negeri ini: Soekarno, Hatta, Agoes Salim. Atau mundur lah lagi ke belakang di masa Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pattimura. Dan lihatlah ke masa kini: adakah kita menemukan sosok seperti mereka berada di depan? Padahal, masa kini, ketika tantangan semakin berat, adalah masa justru ketika kita membuthkan lebih banyak pemimpin dengan kualitas seperti mereka.
Ini lah salah satu alasan saya pribadi mendalami persoalan kepemimpinan. Kepemimpinan, menurut pemahaman sementara saya saat ini, masih umumnya dipahami seputaran soal bagaimana satu orang berkemampuan super memimpin orang lain. Meskipun pandangan serupa ini tak sepenuhnya bisa dilepaskan dari kepemimpinan, namun ia semata adalah pemahaman yang teramat keliru. Saya membedakan antara pemimpin dan kepemimpinan. Pemimpin, mungkin soal satu orang. Tapi kepemimpinan, adalah persoalan kolektif. Para pemimpin yang dianggap besar, sejatinya ‘menyimpan’ begitu banyak pendukung besar di belakangnya. Para pendukung luar biasa ini lah yang menjadikan segala mimpi menjadi aksi yang terstruktur, bahkan tanpa kehadiran sang pemimpin. Maka kita memang tak saja membutuhkan seorang pemimpin. Kita membutuhkan amat sangat banyak pemimpin, di setiap lini kehidupan, di setiap ujung berkumpulnya manusia.
Kepemimpinan, hemat saya, adalah sebuah kebutuhan yang takkan pernah lekang oleh waktu. Kapanpun, selama dunia belum kiamat, dan manusia berkumpul, kepemimpinan dibutuhkan. Sebab tabiat manusia bergerak sendiri-sendiri, jika tak ada kepemimpinan yang menggerakkan. Maka memahami kepemimpinan adalah kepentingan setiap orang, di setiap zaman.
“Seperti cinta,” lanjut Bennis, “kepemimpinan terus menjadi sesuatu yang setiap orang memahami keberadaannya, namun tak satu pun mampu mendefinisikannya.” Sebagian bicara soal seseorang dengan keistimewaan tertentu. Sebagian lain membahas tentang situasinya. Yang jelas, tak satu pun penjelasan tentang kepemimpinan yang bisa berdiri sendiri. Satu sama lain saling melengkapi dan berinteraksi. Seperti cinta, adakah ia keadaan,perasaan, atau kebiasaan?
“Kepemimpinan,” jelas Bennis, “adalah kapasitas untuk menerjemahkan visi menjadi realitas.” Pada tempat lain ia menegaskan, “Kepemimpinan adalah penggunaan kekuasaan yang bijaksana.” Istilah keren yang sekarang sering digunakan: kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan yang tak sekedar melanjutkan sebuah rencana, melainkan memang diniatkan untuk menghadirkan sebuah perubahan signifikan (transformasi). Transformasi, adalah kata yang mengandung makna perubahan yang teramat kentara, keluar dari sesuatu yang biasa. Tidak disebut transformasi jika hanya soal kenaikan keuntungan, atau bentuk-bentuk luar yang rapuh. Transformasi, selalu berkait dengan perubahan identitas. Dikatakan sebuah organisasi bertransformasi, jika identitas keseluruhan tim yang ada di dalamnya berubah, hingga tertampak pada produk yang dihasilkan. Seperti—menurut pengamatan saya—KFC Indonesia yang beberapa tahun lalu terkesan jadul (enak sih, tapi tidak trendi) namun kini justru digandrungi anak muda, mengalahkan imej McDonalds.
Maka sebuah organisasi bisa saja berjalan dengan baik, tetap untung, karena mungkin masih memiliki tabungan yang cukup besar di pasar. Namun ia bisa segera tersalip jika tak jelas sedang mengarah pada visi yang jelas, yang kemudian dieksekusi secara sungguh-sungguh. Dan ini, adalah pekerjaan seorang pemimpin, bukan sekedar seorang pimpinan.
Ah, saya lupa membahas kedua istilah ini. Pimpinan, belum tentu pemimpin. Begitu pula sebaliknya. Pimpinan, dalam definisi sederhana saya, adalah mereka yang mendapat tugas secara resmi. Namun jika ia tak memiliki jiwa kepemimpinan, yakni kemampuan untuk menggerakkan orang dengan segenap jiwa mereka, ia bukanlah pemimpin. Pemimpin, adalah orang yang mampu mengajak orang terus bekerja mempersembahkan yang terbaik, tanpa kehadirannya. “Manajer adalah orang yang mengerjakan segala hal dengan benar. Pemimpin adalah orang yang mengerjakan hal yang benar,” tegas Bennis. Yang pertama soal efisiensi, yang kedua soal efektivitas.
Maka pembeda seorang pemimpin dengan pimpinan paling mudah kita lihat dari ada atau tidaknya arah yang dituju. Seorang pemimpin, amat memahami tujuan dasar berdirinya organisasi, dan karenanya potensi terbaik yang dimiliki. Maka ia pun mendayagunakan segenap sumber daya untuk menjadikan organisasi mencapai tujuan yang menantang dan menginspirasi. Ah, inspirasi, mungkin adalah kata yang tepat untuk soal kepemimpinan. Ia tak sekedar bicara target, melainkan menjadikan setiap tujuan menggerakkan dan menggetarkan hati. Dari sini, Bennis dan Nanus menekankan bahwa yang mereka cari dalam riset adalah para pemimpin yang menciptakan tren baru, bukan sekedar melanjutkan apa yang sudah ada. Mereka menciptakan ide baru, kebijakan baru, metodologi baru. Mereka mengubah cara organisasi bekerja. Mereka, benar-benar melakukan perubahan besar-besaran, dan tak sekedar ahli dalam mengerjakan hal-hal rutin. Melalui sebuah rangkaian panjang wawancara dan observasi, Bennis dan Nanus melakukan dialog eksploratif, yang baik peneliti maupun subyek sama-sama mencari jawaban. Subyek penelitian bukan semata menjawab pertanyaan. Mereka pun turut menjadi bagian dari para peneliti. Metodologi yang digunakan cenderung tidak terstruktur. Jika pun ada pertanyaan yang standar ditanyakan pada semua subyek ia adalah: apa saja kekuatan dan kelemahan Anda, adakah sebuah pengalaman hidup yang secara signifikan memengaruhi gaya Anda memimpin, dan apakah keputusan terpenting yang pernah Anda buat selama karir Anda dan bagaimana perasaan Anda terhadap keputusan itu sekarang? Selanjutnya adalah dialog panjang sampai para peneliti menemukan sesuatu yang mereka sebut sebagai hit.
Dan, mereka pun berusaha merumuskan 4 strategi yang digunakan oleh para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu:
- Mengarahkan atensi, dengan menggunakan visi.
- Menghadirkan makna, dengan membangun budaya.
- Menumbuhkan kepercayaan, dengan mengokohkan positioning.
- Mengembangkan diri, dengan penghargaan positif.
Mudahnya begini. Kepemimpinan diperlukan, ketika ada sekumpulan orang. Dan disebut kepemimpinan, ketika sekumpulan orang tersebut tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan mengarah pada tujuan yang sama. Nah, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal itu?
Pertama, para pemimpin mestilah ahli dalam mengajak setiap orang untuk melihat pada arah yang sama. Caranya? Menggunakan sesuatu yang disebut visi.
Tak cukup hanya mengarahkan, para pemimpin mestilah ahli dalam mengajak setiap orang untuk terinspirasi dengan visi tersebut. Sebab kita bisa saja melihat pada arah yang sama, namun tak tergerak untuk mengikutinya. Nah, inilah strategi kedua, yakni menghadirkan makna bahwa visi itu penting bagi semua orang.
Akankah orang bergerak kali ini? Ya, untuk sementara. Sebab setiap kerja besar selalu memiliki banyak tantangan, maka para pemimpin mestilah ahli dalam menjadi teladan bagi apa yang ingin dicapai. Ia menumbuhkan kepercayaan pada setiap orang bahwa apa yang menjadi tujuan memang mungkin terwujud. Ia harus memposisikan dirinya sebegitu jelas, sehingga setiap orang melihatnya sebagai contoh hidup.
Dan terakhir, kepemimpinan adalah soal orang, soal manusia. Maka menjadi pemimpin, sejatinya adalah menjadi ahli dalam urusan manusia. Mengetahui hakikat bahwa setiap orang unik dan memiliki kelebihan, sebagaimana kekurangan. Para pemimpin adalah ahli dalam memanfaatkan dan mengkombinasikan kekuatan, sehingga setiap orang terlibat dan berkontribusi untuk mencapai tujuan.
Nah, bagaimana persisnya keempat strategi ini dijalankan? Insya Allah akan saya bahas dalam artikel-artikel berikutnya.