“Kenalilah kadar dirimu,dengan mengenali apa-apa yang menggelisahkanmu.”
Sesuatu yang menggelisahkan, adalah sesuatu yang mampu mengambil porsi cukup besar dalam pikiran, hingga meresap dan menggugah perasaan. Sungguh tak mudah bagi sebuah perkara untuk menghadirkan rasa gelisah, sebab ia mesti berebut dengan jutaan informasi lain yang hadir di sekeliling. Tengoklah sejarah hidup diri ini, niscaya kita kan temukan bahwa apa-apa yang kini menggelisahkan, dulu sama sekali tidak mengambil peran. Kala kanak-kanak, pasti lah tak pernah kita gelisah soal bagaimana membayar tagihan listrik. Kala remaja, pun kita tak gelisah soal pekerjaan yang menumpuk. Barulah kala berkeluarga hal-hal tersebut mengambil tempat dalam pikiran, lalu menggelisahkan.
Menarik untuk dicermati, bahwa pikiran sadar manusia didesain untuk tak mampu mengolah terlalu banyak informasi sekaligus. Lihatlah kawan yang mengemudi sambil berbicara via telepon. Dijamin salah satu aktivitas itu pasti tak berjalan dengan optimal. Atau ajaklah bicara seseorang yang sedang sibuk bekerja, maka pilihannya dua: kita diabaikan, atau pekerjaannya yang tak terselesaikan. Maka sedikit simpulan: apa yang berhasil masuk dalam pikiran, akan menyingkirkan jutaan yang lain. Nah, kembali ke soal kegelisahan tadi, apa-apa yang menggelisahkan kita dulu, bukankah kini ia tak lagi demikian? Sungguh seorang remaja begitu gelisah ketika yang disukai ternyata menyukai orang lain. Namun begitu dewasa—mungkin sebab terlalu sering bertepuk sebelah tangan—dengan mudah ia mengatakan, “Next!”
Maka kegelisahan, adalah tanda bagi diri untuk memahami apa sejatinya yang sedang merajai pikiran kita. Sebab disadari atau tidak, itu lah yang sedang kita pilih untuk pikirkan begitu dalam, hingga menerbitkan rasa gelisah. Di titik inilah, nasihat di atas sungguh relevan. Kita bisa mengenali kadar diri ini, dengan mencermati apa-apa yang membuat kita gelisah. Sebab yang menggelisahkan, pasti yang sedang dipikirkan. Dan yang dipikirkan, mengutip Samuel Smiles, akan tertuai dalam bentuk tindakan. Gelisah soal uang, bergeraklah kita mencarinya. Gelisah soal jabatan, bergeraklah kita mengejarnya. Gelisah soal cinta, bergeraklah kita memburunya.
Ah, mari kita berhenti sejenak dan merenung. Jika demikian adanya, maka kita perlu cemas, kala apa yang kita gelisahkan sejatinya adalah apa-apa yang remeh, apa-apa yang fana. Sementara sisi lain, apa-apa yang penting, berdampak panjang dan abadi, luput dari kegelisahan kita. Berapa banyak diri yang gelisah kala terlambat menghadiri sebuah rapat, namun tak gelisah kala waktu shalat terlewat? Berapa banyak diri yang gelisah kala komisi belum diterima, tapi tak gelisah kala tercampur di dalamnya harta yang tak halal? Berapa banyak diri yang gelisah kala tugas belum terlesaikan, lalu memutuskan lembur hingga tengah malam, namun tak gelisah kala dahi ini tak pernah disungkurkan dalam taubat? Berapa banyak diri yang gelisah kala
Kita perlu cemas, sebab obyek-obyek kegelisahan yang pertama sejatinya teramat fana, sedang yang kedua justru berakibat abadi. Semakin tinggi kadar diri, semestinya semakin tinggi pula kualitas obyek yang digelisahkan. Ah, hatiku pun jadi tak enak, sebab kusadari kualitasku masih teramat rendah.