“Berkali-kali kami temukan,” ujar Bennis dan Nanus, “para pemimpin melakukan hal yang sama setiap kali mereka ditugaskan memimpin organisasi—mereka amat perhatian pada apa yang sedang terjadi, mereka tentukan mana yang penting untuk masa depan organisasi, mereka tetapkan arah baru, dan mereka mengajak semua orang berkonsentrasi penuh terhadap arah itu.”
Ya, semua orang tahu bahwa visi adalah salah satu produk kepemimpinan yang menjadi ciri khas semua pemimpin besar. Berbeda dengan angan-angan, visi merupakan arah yang ditentukan dengan alasan yang kuat. Anda mungkin berpikir ini sesuatu yang umum dan sudah amat biasa? Ah, demikian pula saya. Tapi ada yang menarik dibahas dalam Leaders. Sebuah pertanyaan menarik perlu kita renungkan, “Darimana para pemimpin mengetahui arah yang benar untuk organisasi?” Apalagi, begitu banyak visi pada awalnya tampak begitu mustahil bagi orang awam. Baru ketika visi itu benar-benar terwujud lah orang bisa mengatakan bahwa ia brilian. Tapi sebelum itu, mari kita diskusikan lebih dulu mengapa sebuah visi begitu penting bagi organisasi.
Cara paling mudah untuk memahami mengapa sebuah organisasi memerlukan visi adalah dengan mengingat kembali hakikat berdirinya sebuah organisasi. Ada kah sebuah organisasi didirikan tanpa tujuan? Hampir pasti tidak ada. Tidak tertulis sih mungkin. Tapi jika ada sekumpulan orang bergabung tanpa tujuan, maka mereka jelas bukan organisasi. Apalagi perusahaan, yang nyata-nyata didirikan dengan sebuah proses penuh kesadaran untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Maka setiap orang yang bergabung dalam sebuah organisasi, sejatinya memiliki harapan bahwa mereka bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan kata lain, masih bergabungnya seseorang dalam satu organisasi, menandakan masih adanya pemenuhan kebutuhan di dalamnya. Sebaliknya, mereka yang keluar adalah yang tidak lagi merasakan kebutuhannya terpenuhi.
Nah, jelas tidaknya suatu visi organisasi, akan amat menentukan seberapa tinggi komitmen individu di dalamnya. Mengapa? Ya sebab semakin jelas sebuah visi, semakin mudah bagi tiap individu untuk terus-menerus melakukan evaluasi apakah kebutuhannya masih akan terpenuhi atau tidak di dalam organisasi. Jika ya, tinggi lah komitmennya. Jika tidak, ia pun akan dengan mudah memutuskan untuk mencari tempat baru. Organisasi yang buram visinya, mungkin mampu mempertahankan fisik para anggotanya, namun jelas kesulitan mengambil hati mereka. Sebab mereka pun terombang-ambing dalam ketidakjelasan: apakah ini masih merupakan tempat yang tepat untuk saya?
Saya sering menyebut ilmu soal visi sebagai ilmu naik taksi. Saat Anda naik taksi, apa dialog yang pertama kali terjadi kala pintu ditutup? Ah, tentunya, “Mau kemana Bu?” Lalu apa yang terjadi kalau kita menjawab dengan, “Ke tempat yang enak-enak deh Pak.” Hmm..sesaat, sang supir tentu akan tertegun karena kaget bertemu dengan penumpang yang begitu aneh. Dan barangkali ia akan kembali bertanya, “Iya, mau ke mana?” Namun sang penumpang masih menjawab hal yang sama, “Ke tempat yang bisa bikin saya senang deh.” Weleh, kali ini mungkin sang supir sedikit garuk-garuk kepala. Namun karena ia harus menjalankan tugas, maka ia pun memacu mobilnya ke suatu tempat. Sesampainya disana, “Sudah sampai Bu.” Sang penumpang pun terkejut, “Loh, kok kesini?” Sang supir menjawab, “Loh, katanya ke tempat yang enak. La rumah saya ini enak buanget Bu.”
Puas kah sang penumpang? Sudah pasti tidak. Uang harus keluar, kesenangan tak didapat. Maka ilmu naik taksi ini mengatakan: hidup tanpa arah seperti naik taksi tanpa tujuan, sudah mahal, nyasar lagi!
Kejelasan tentang alamat yang dituju akan memudahkan tidak saja sang supir untuk mengantarkan kita. Tapi juga memudahkan kita untuk mengevaluasi apakah kita sedang berada pada jalur yang tepat. Apalagi jika taksinya tak dilengkapi dengan GPS, maka nasib perjalanan kita amat tergantung pada penguasaan jalanan oleh sang supir. Alamat yang jelas, memampukan kita untuk mengetahui, bertanya, mencari jalan alternatif, bahkan berhenti naik taksi dan menggunakan alternatif kendaraan lain jika ternyata lebih efisien.
Kejelasan visi organisasi pun demikian. Ia memudahkan para pemimpin untuk mengarahkan organisasi. Pun memudahkan individu untuk memberikan masukan jika ada jalan yang lebih cepat untuk mencapainya. Sisi lain, sebuah visi menjadikan individu tidak hanya sekedar menjalankan tugas. Ia akan merasa bahwa ia merupakan bagian dari sebuah kerja besar. Ya, karena visi memang harus cukup besar dan menantang untuk dicapai. Sebagaimana yang dikatakan Bennis, “Sebuah visi akan mentransformasi seseorang dari sebuah robot yang menjalankan instruksi menjadi manusia yang terlibat penuh secara kreatif.” Adalah fitrah bahwa ketika seseorang merasa ambil bagian dalam sebuah kerja besar, ia akan menyuguhkan antusiasme yang lebih besar ke dalam pekerjaannya, sebab ia dan kerja menjadi dua hal yang saling menguatkan.
Namun ada hal lain lagi yang tak kalah menarik. “Kami menemukan,” ungkap Bennis, “perbedaan yang amat jelas antara seorang pemimpin dan manajer. Dengan mengarahkan perhatian pada visi, seorang pemimpin bekerja di ranah emosional dan spiritual dari organisasi. Sisi lain, para manajer bekerja di ranah fisikal, yakni bagaimana mengoptimalkan anggaran, bahan baku, teknologi, dll. Seorang manajer menjadikan setiap orang bisa mendapatkan penghasilan dengan bekerja produktif dan efisien. Namun hanya seorang pemimpin yang mampu mendorong timnya untuk mengalami kepuasan dalam berkontribusi.
Nah, di titik ini, pertanyaan kembali muncul: bagaimana seorang pemimpin menemukan sebuah visi yang tepat untuk organisasinya, sedangkan sebuah visi pastilah sesuatu yang belum pasti?
Setidaknya ada 3 sumber yang bisa dijadikan bahan.
Pertama, masa lalu. Ini adalah cara paling mudah, yakni melakukan refleksi atas perjalanan yang telah kita lalui. Temukan beragam pengalaman menarik yang mungkin dapat diterapkan dalam situasi baru. Hal yang senada bisa kita lakukan dengan bertanya pada pengalaman orang lain. Pelajari sejarah organisasi secara mendetil, dan temukan titik-titik krusial yang merupakan tanda-tanda penting identitas organisasi.
Kedua, masa kini. Cara ini menghendaki kita untuk menjadi pengamat keseharian. Tengoklah sekeliling, dan cermati apa yang terjadi. Masa kini, berbeda dengan masa lalu, memberikan sebuah perspektif yang bisa jadi lebih kontekstual. Semisal, jika kita ingin membayangkan seperti apa kah kiranya kondisi kota di tahun 2030, maka kita bisa mencermati kondisi kota saat ini. Sebab 18 tahun ke depan bukanlah waktu yang terlalu lama, sehingga kemungkinan sebagian besar bangunan yang ada kini masih ada di waktu itu. Dalam cara ini, kita juga bisa melakukan eksperimentasi terhadap sesuatu yang mungkin akan menjadi tren di masa depan. Sesuatu yang telah ada bibitnya, namun belum berkecambah di mana-mana. Seperti apa yang dilakukan Bank Muamalat beberapa dekade lalu tentang bank syariah, kini, ketika model perekonomian konvensional terbukti begitu rapuh terhadap krisis, kita bisa melihatnya sebagai sesuatu yang amat menjanjikan.
Ketiga, masa depan. Loh, maksudnya pakai jasa dukun? Tentu bukan. Berbeda dengan mempelajari masa kini semata, mempelajari masa depan memerlukan kekuatan imajinasi kita. Yakni, mengambil beberapa petunjuk, dan merangkainya menjadi sesuatu yang belum ada saat ini. Mungkin inilah yang dilakukan Bill Gates kala memimpikan adanya komputer personal di tiap rumah. Kala itu, sungguh visi ini mustahil, sebab ukuran komputer yang begitu besar, plus fungsinya yang belum menjanjikan. Namun kenyataan bahwa komputer kala itu ada, adalah sebuah penanda kecil, yang kemudian dirangkai secara imajinatif menjadi sebuah gambaran masa depan ketika komputer dipergunakan oleh setiap orang. Dan kini, kita bisa melihat bahwa tidak saja ada komputer dalam tiap rumah, melainkan ada banyak! Dan masih banyak lagi yang dibawa-bawa. Keahlian untuk melakukan interpretasi terhadap petunjuk inilah sejatinya seni keahlian seorang pemimpin. Mirip dengan ahli sejarah yang berusaha merangkai kisah masa lalu berdasarkan data-data arkeologis, begitu pula para pemimpin berusaha merangkai kisah masa depan berdasarkan data-data masa kini.
Ketiga sumber ini lah, ranah ‘bermain’ seorang pemimpin kala merumuskan visi. Sintesa adalah kata kuncinya. Untuk itu, seorang pemimpin memerlukan foresight, sehingga ia dapat menentukan bagaimana sebuah visi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan organisasi; hindsight, agar visinya tidak menyalahi tradisi dan budaya organisasi; worldview, guna menginterpretasi dampak luas dari pengembangan dan tren baru; depth perception, hingga gambaran besar tetap dapat terasa kala pekerjaan detil kelak dimulai; peripheral vision, agar dapat memahami bagaimana reaksi pesaing dan pemegang kepentingan lain terhadap visi; a process of revision, agar visi yang telah ditetapkan dapat terus disesuaikan dengan perubahan lingkungan. Maka jelaslah, bahwa sebuah visi tak datang dari langit. Ia melalui sebuah proses yang panjang hingga berakhir pada sebuah formulasi yang matang dan mengena.
Namun jangan salah mengerti, bahwa keseluruhan proses ini merupakan kerja pemimpin sendiri. Jika itu yang terjadi, maka jangan heran jika sang pemimpin pun harus bekerja sendirian mewujudkan visinya. “Sebuah visi,” urai Bennis, “tak bisa dibuat menggunakan kekuasaan. Ia adalah sebuah tindakan persuasif, untuk menciptakan komitmen yang tinggi, sehingga setiap orang memandangnya sebagai sesuatu yang benar untuk dikerjakan sekarang, baik untuk organisasi, dan baik untuk setiap orang yang bekerja di dalamnya.”
Demikianlah, para pemimpin kemudian mencari segala cara agar visi yang telah terformulasi menjadi milik setiap orang. Maka mereka yang berhasil adalah yang tak pernah bosan mengulang-ulang visi dalam setiap kesempatan, mencari beragam bentuk yang tepat untuk mengkomunikasikannya, hingga menjadi iklim yang bisa dirasakan oleh seluruh tim.