Saat sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan, mataku tertuju pada sebuah lowongan kerja yang ditulis pada selembar kertas, ditempel di depan sebuah toko. Ia berbunyi,
“Dibutuhkan karyawan/karyawati: 1. Jujur, 2. Rajin, 3. Rapi, 4. Disiplin, 5. SMA.”
Sekilas ia tampak biasa saja. Namun ada sesuatu yang menarik mencuat dalam benakku, menggerakkan tanganku untuk memotret lowongan itu dengan ponsel.
Apa pasal?
Ya, kriteria karyawan itu. Nomor satu, tertulis dengan jelas, adalah jujur. Barulah setelahnya dicermati apakah ia rajin, rapi, disiplin, dan nomor terakhir berpendidikan SMA. Entah disadari atau tidak, pemilik toko yang memasang kriteria ini sejatinya telah memahami betul apa syarat utama yang harus dimiliki oleh setiap karyawan. Bukan pendidikan, bukan keahlian. Melainkan kejujuran. Kesediaan untuk menunaikan amanah, apapun yang terjadi.
Dipikir-pikir, ya memang masuk akal. Coba lah tengok empat kriteria lain. Adakah ia bermanfaat jika yang nomor satu tak terpenuhi? Tak usah dibahas pun setiap orang kan sepakat: tidak! Sisi lain, jika kriteria nomor satu terpenuhi, namun yang lain tidak, masihkah mungkin seseorang dipekerjakan? Bisa jadi. Sebab setiap orang bisa belajar meningkatkan kompetensinya. Tapi soal kejujuran, rasanya tak banyak perusahaan mau ambil risiko.
Ya, kejujuran memang merupakan prinsip hidup yang kekal. Sedari dulu sampai sekarang dan masa yang akan datang ia kan terus hadir tuk disepakati kepentingannya. Nah, diam-diam, di titik ini sebuah tanya menelusup dalam benakku, “Seberapa besar pendidikan formal di masa kini fokus pada soal kejujuran? Berapa banyak waktu dan tenaga dikerahkan oleh para pendidik untuk memastikan anak didiknya lulus sebagai orang yang jujur?”
Meski aku belum pernah melakukan survei apapun, aku merasa tak banyak sekolah yang mampu menjawab dengan jelas. Entah mengapa, aku masih yakin kalau soal kejujuran adalah soal yang hampir tak terbahas, apalagi dibandingkan dengan berlomba-lombanya lembaga pendidikan melabeli diri dengan kata ‘internasional’ yang sejatinya tak lebih dari kata lain ‘menggunakan bahasa inggris dan mengacu pada kurikulum luar negeri’.
Di sinilah, aku merenungi jurang yang cukup lebar, antara apa yang kita didikkan, dengan apa yang dibutuhkan dunia nyata. Ya, dunia nyata membutuhkan kejujuran sebagai fondasi segala kerja. Namun pendidikan kita masih jauh dari menjadikannya sebagai landasan berpikir di dalamnya. Maka tak ada lain yang bisa kita lakukan, kecuali untuk menggunakan pengaruh masing-masing untuk memperkecil jurang itu. Kita memerlukan lebih banyak orang jujur. Titik. Bagaimana dengan orang yang kompeten? Mari bicarakan setelah itu.