Antara Tahu dan Paham

“Udah berkali-kali lho, kusampaikan ini pada mereka, tapi mereka nggak juga bergerak dengan kesadaran sendiri,” kisah seorang kawan.

Bukan sekali dua kali kalimat serupa ku dengar, hingga pikiranku pun kembali melayang ke sebuah nasihat, “Makna dari komunikasi terletak pada respon yang didapatkan.”

Ah, betapa nasihat ini begitu menghenyak kala pertama kali ku dengar dulu. Begitu pun kini, ia seolah begitu menggelitik, menyampaikan pesan bahwa acapkali aku tak benar-benar juga memahami bahwa dialog adalah pekerjaan dua orang. Bukan satu. Dialog adalah pertukaran makna, bukan semata penyampaian kata.

“Lalu,” tanyaku, “apakah mereka paham apa yang kau inginkan?”

“Ya, aku sudah berkali-kali menyampaikan,” jawabnya.

“Betul, sudah berkali-kali kau sampaikan. Tapi apakah mereka telah memahaminya?” tanyaku lagi.

Kawanku terdiam sejenak. Begitu pula diriku. Jika dia merenung, maka aku pun tak kalah khusyuk. Sebab entah mengapa, kusadari bahwa begitu banyak pertanyaan diajukan kepadaku, kiranya ia adalah permasalahanku sendiri. Ya, permasalahan kawanku satu ini, ku yakin pula adalah masalahku. Aku masih jauh dari memahami apa itu dialog. Aku masih terburu nafsu ingin menyampaikan mauku, hanya untuk mendapati bahwa orang lain tak paham juga.

Ah, paham dan tahu. Apa pula bedanya? Mengapa pula Bloom, sang pakar itu, membedakannya dalam level yang berbeda dalam taksonomi pembelajaran yang ia ajarkan?

Ringkas cerita, aku pun perlahan mulai memahami bahwa antara tahu dan paham, kiranya berdiri pada sumber yang berbeda. Mudahnya, tahu, merupakan hasil dari buah pikir, sehingga aku pun menandai sensasi yang terletak pada seputaran kepala. Sedang paham, adalah buah dari rasa, hingga sensasi yang kurasakan ketika memahami sesuatu, terletak pada seputaran dada.

Maka tak heran jika pemahaman lah yang sejatinya akan mengantarkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Sebab manusia memang adalah makhluk yang digerakkan oleh rasa, oleh makna.

Lalu apa pula hubungannya dengan kisah kawanku tadi?

Amat erat. Bisa jadi, apa yang kita sampaikan pada seseorang, memang baru sampai pada tataran pengetahuan. Benar, ia tahu persis apa yang kita harapkan, tapi sebelum ia memahaminya dalam hati, merasakan sensasi rasa yang sama dengan kita, agak jauh kita berharap ia kan melakukan persis sebagaimana kita ingin melakukannya.

Di titik inilah, aku pun baru menyadari mengapa dalam banyak kali aku belum berhasil mengajak seseorang turut menjalankan apa yang baik, yang telah berapi-api kusampaikan padanya. Ya, sebab memang, apa yang kusampaikan sejatinya hanyalah tentang diriku, tentang pemahamanku, tentang makna yang bersemayam dalam hatiku. Makna inilah yang membuatku bergerak. Namun sebelum ia menemukan makna yang sesuai dengannya—pemahamannya—geraknya tak lebih dari sekedar kewajiban.

Aku belum lagi sempat bertemu dengan kawanku. Dan aku sungguh berniat bertanya kepadanya, “Jika kau tahu apa artinya semua itu bagimu, lalu apa artinya semua itu bagi mereka?”

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *