Menulis artikel yang lalu aku tergerak untuk menelaah sedikit apa yang kupahami tentang Taksonomi Bloom.
Adalah Benjamin Bloom, yang memimpin sebuah tim beranggotakan para pakar pendidikan, untuk menyusun sebuah klasifikasi terhadap tujuan pendidikan. Hadirlah beberapa level yang menandakan pengusaan seseorang terhadap sebuah ilmu. Ia adalah:
- Mengingat.
- Memahami.
- Menggunakan.
- Menelaah.
- Mengevaluasi.
- Menciptakan.
Tiga yang pertama merupakan tingkatan, sedangkan 4 yang berikutnya (4-6) berada pada level yang sejajar.
Aku bukanlah pakar pendidikan. Maka aku hanya ingin sekedar menulis apa yang kupahami dari taksonomi ini, untuk memudahkan orang awam memahami dan memanfaatkannya.
Ya, level pertama, mengingat, adalah proses untuk mendapatkan sebuah pengetahuan baru. Maka sensasinya terletak di seputaran kepala. Ingat-ingatlah kali terakhir kita mempelajari sesuatu yang baru, dan terdapatilah bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi di kepala. Dengan bahasa lain, mengetahui itu membutuhkan pikiran.
Lain dengan memahami. Paham, lebih dalam dari sekedar tahu/ingat, ia berurusan dengan sensasi rasa di seputaran dada. Perhatikan bagaimana seseorang menggerakkan tangan ketika berkata, “Saya paham apa yang Anda maksud.” Dimana tangan itu diletakkan? Umumnya di dada. Bukan di kepala, apalagi di kaki. Hehe…
Maka pemahaman, membutuhkan lebih dari sekedar olah pikir, ia memerlukan olah rasa. Tak heran jika terkadang kita membutuhkan waktu lama untuk dapat memahami seseorang, padahal telah bertahun-tahun mengenalnya. Sebab mengenal, memang seringkali baru pada level pengetahuan.
Dari pemahaman lah, akan lahir penggunaan. Ya, karena hanya mereka yang paham lah yang akan mampu melakukan. Namun jangan salah mengerti, bahwa pengetahuna dan pemahaman yang saya maksud tak berkaitan dengan strata pendidikan atau proses formal lainnya. Ia semata berkaitan dengan keterampilan yang dikuasai.
Penggunaan, adalah olah gerak. Manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh rasa, oleh makna, dan karenanya penggunaan hadir pasca pemahaman. Ia lah induk dari keterampilan, yakni hasil dari pengulangan. Dikatakan seseorang bisa menggunakan sepeda motor, tentu bukan hanya karena ia mampu menggunakan sekali dua kali. Harus lah kita melihatnya secara konsisten, baru lah kita sebut ia mampu menggunakan terus-menerus.
Maka tahu-paham-mampu sejatinya adalah hasil dari olah pikir (kecerdasan intelektual), olah rasa (kecerdasan emosional), dan olah gerak (kecerdasan fisikal). Masih ada satu lagi kecerdasan yang belum terbahas, yakni kecerdasan spiritual.
Dimana kah ia berada?
Di level menelaah-mengevaluasi-menciptakan. Ketiga level ini, disejajarkan sebab mungkin memang ia berada pada ranah yang sama, sebagaimana ia membutuhkan satu lagi kecerdasan yang sama: spiritual.
Kecerdasan spiritual, bukan hanya soal kesadaran seseorang akan persoalan ketuhanan. Ia sebenarnya berurusan dengan kesadaran akan makna-makna. Dan hanya orang yang telah melewati tahap tahu-paham-mampu lah yang dapat melakukan telaah-evaluasi-cipta.
Tak cukup hanya sekedar bisa untuk mampu mencipta. Penciptaan, memerlukan penelusuran mendalam akan inti sebuah ilmu, hingga kan terlahir bentuk baru. Maka para praktisi (mereka yang mampu mempraktikkan sebuah ilmu), belum tentu bisa mencipta, jika ia tak melakukan olah jiwa untuk menemukan makna-makna, hakikat dari setiap pembelajaran. Sebaliknya, ia yang belum kaya pengalaman, namun rajin praktik sembari menyelami makna, bisa jadi mampu mencipta dengan lebih cepat dibandingkan yang lain.
Ah, mungkin inilah maksud dari nasihat seorang guru, “Jangan berharap banyak hanya dari jam terbang. Berharap lah dari jam penghayatan.”