“Tanda iman adalah kesejukan. Tapi jangan jadikan kesejukan itu tujuan.”
Iman adalah keyakinan. Iman adalah pembenaran. Pembenaran tentang keberadaan sebuah hakikat yang tak tampak oleh mata, tak terdengar oleh telinga, melainkan hanya tanda-tandanya saja. Tanda-tanda ini nyata, namun para beriman tak pernah berhenti—apalagi terjebak—dengannya. Sebab segala tanda fana adanya.
Sebab yakin dan membenarkan, maka para beriman selalu merasakan kesejukan, apapun keadaan. Di kala susah, ia bersabar, sebab kesusahan hanyalah apa yang tampak oleh mata. Yakinlah bahwa kesulitan yang disabari adalah lumbung kebaikan tiada henti bekal di hari akhir nanti.
Begitu pun di kala senang, ia bersyukur, sebab kesenangan pun hanyalah apa yang tampak oleh mata. Ia tak lebih teramat sementara. Yakinlah bahwa setiap kesenangan kan dimintai pertanggung jawaban, maka mensyukurinya pun adalah lumbung kebaikan pula.
Kalau begini caranya, lalu bagaimana para beriman tidak senantiasa berada dalam kesejukan? Namun tetap lah berhati-hati, sebab kesejukan pun, acapkali semata ujian kemudahan. Sebab sejuk, maka terjebak lah kita tuk membangun iman, demi kesejukan itu semata. Itu boleh, tak salah. Hanya berhentinya seseorang di titik itu, mungkin menghentikannya dari pertemuan puncak sebagai hambaNya kelak. Bahkan bahayanya lagi, ia berpotensi merubuhkan bangunan keikhlasan yang telah ada. Sebuah bangunan yang kan menentukan berat tidaknya nilai amalan di hadapan Tuhan.
Benar, wahai diri, bahwa iman itu nikmat. Iman itu sejuk. Nikmatilah kesejukan itu. Lalu lanjutkanlah perjalananmu. Teguhkanlah pada tujuan penciptaanmu, semata-mata pengabdian. Sebab hidupmu kan tetap selamat, meski tak merasakan kesejukan, jikalau setiap detik kau jadikan hanya sebagai pengabdian.