“Bermimpilah, lalu wujudkan. Sebab bagian dari syukur adalah bermimpi dan mewujudkannya.”
Bermimpi, adalah pendayagunaan anugrah bernama imajinasi. Sebab kita mampu berimajinasi, kita mampu bermimpi. Maka tak bermimpi, bisa jadi adalah penyia-nyiaan anugrah yang satu ini.
Ah, jangan terlalu tinggi bermimpi, nanti sakit jika tak tercapai.
Demikian banyak kali kita dengar keluhan. Wajar, sebab yang bernama mimpi, memang masih jauh dari kenyataan. Ada kemungkinan ia terwujud, ada kemungkinan juga tidak. Dan pada keduanya ada sebab. Pada yang terwujud, pastilah mimpi itu disungguhi. Pada yang tidak, sebaliknya.
Sebuah nasihat pernah hadir, “Bermimpilah yang tinggi. Berencana lah secukupnya. Lalu jalankan dengan penuh kesungguhan.”
Ya, mimpi harus tinggi. Setidaknya, ia harus lebih tinggi dari diri saat ini. Namun mimpi yang tak disungguhi, hanya lah kan tinggal mimpi. Bagaimana cara menyungguhi? Dengan berencana dan mengeksekusinya.
Namun hati-hati kala berencana, tak perlu lah terlalu jeli hingga tak ada satu pun langkah kaki yang diayun. Rencana, cukuplah ia rapi, sekedar untuk menjadi penunjuk arah. Lalu segera ayunkan langkah, dengan kesungguhan tertinggi. Kesungguhan eksekusi atas sebuah rencana biasa, acapkali menghasilkan lebih banyak daripada kelalaian eksekusi atas sebuah rencana yang sempurna.
Bermimpi, lalu wujudkan. Keduanya adalah sepasang syukur yang tak terpisahkan. Apa pasal? Ya sebab bermimpi, berarti menyadari bahwa sang diri punya hak tuk mewujudkan kerja-kerja besar, melewati batas-batas kekinian. Bermimpi, berarti membuka kemungkinan itu. Dan sekali sebuah kemungkinan terbuka, ia memiliki hak untuk menjadi kepastian.