Malam itu kami sekeluarga pergi ke salah satu mal di Jakarta. Dalam perjalanan pulang, segera setelah keluar dari mal, perbincangan kami mengarah pada beberapa motor polisi yang berkendara pelan di jalanan.
“Wah, udah ada yang kena tilang tuh,” ujar istri saya.
Tak bermaksud memberikan label negatif, namun obrolan kami memang berkisar di adanya oknum polisi yang senang mencari ‘korban’ penilangan. Beberapa kali saya mengalaminya, sehingga SIM lama saya sudah kenyang dengan lubang-lubang bekas tilang. Saya seringkali memilih untuk ditilang saja, daripada mesti melakukan tawar-menawar yang menggelisahkan hati.
Dan, hal itu terjadi lagi. Tak berapa lama kami berbincang ramai di mobil, seorang polisi bermotor pun mendekati mobil kami, memberikan isyarat untuk menepi. “Wah, kena juga nih,” pikir saya. Saya pun minggir.
Polisi itu turun dari motor, lalu mengampiri. Saya membuka jendela, dan mendengarnya berkata, “Selamat malam Pak. Tadi Bapak melanggar marka jalan. Mestinya tidak boleh ke arah kiri, karena markanya garis lurus,” ucapnya.
Sedikit tersenyum kecut, saya pun berkata, “Oh, maaf Pak. Saya tidak sadar. Nggak biasa lewat sini.” Sungguh ini sebuah kejujuran. Meski saya memang bisa jadi tadi salah, namun saya tidak sadar.
“Iya Pak. Bisa lihat surat-suratnya?” tanyanya.
“Bapak mau nilang saya kan? Ini Pak,” jawab saya sembari menyerahkan SIM dan STNK mobil.
“Terima kasih Pak,” ujarnya.
Sembari ia berlalu ke belakang mobil, saya pun berkata, “Pakai slip biru ya Pak!”
Sudah beberapa kali saya memanfaatkan slip biru ini, yang kata orang memang disediakan bagi pelanggar yang menerima kesalahannya. Dengan menerima, maka kita tak perlu sidang, namun langsung membayar denda di bank, lalu mengambil SIM di kantor polisi.
Tak berapa lama, polisi itu menghampiri jendela dengan senyuman, “Pak, ini kan slip biru ya. Nah, menurut table pelanggaran, Bapak melanggar pasal X (sembari menunjukkan sebuah table), sehingga dendanya Rp500.000,00. Bagaimana Pak?”
Saya menelan ludah. Namun pura-pura tak terkejut. Sudah jadi janji saya pada diri sendiri untuk tidak melakukan tawar-menawar tak halal di jalanan. Maka saya telan saja ludah itu, sembari berkata, “Kok bagaimana? Ya memang harus ditilang kan? Ya sudah, lakukan saja.”
“Bener nih Pak?” tanyanya lagi. “Berarti nanti di slip biru akan saya tulis angka yang Rp500.000,00 ini ya?”
Sungguh saya paham betul apa maksud kalimat terakhirnya itu. Setan-setan dalam hati pun sudah mulai membisikkan suaranya. Alhamdulillah suara hati saya masih lebih kencang, yang membuat saya menjawab, “Ya, silakan Pak.”
Ia pun berlalu ke belakang mobil. Saya menatap istri saya di kursi sebelah, “Manteb deh, 500 ribu gara-gara marka jalan!” Dan saya sungguh bersyukur, sebab balasan istri saya benar-benar menentramkan hati. Sebuah jawaban yang akan terus saya ingat. “Nggak apa-apa. Yang penting kita nggak nyogok dia.”
Ya. Dalam mobil itu ada kami sekeluarga. Ibu, istri, dua anak saya, dan satu pengasuh anak kami. Mereka semua mendengar setiap kalimat yang saya katakan. Sejatinya ada dilema dalam diri. Malam itu saya benar-benar sedang lelah. Dan suara-suara godaan mulai membisikkan pada saya untuk menyudahi saja kejadian sepele itu sebagaimana yang orang lakukan di jalanan. Namun entah mengapa suara hati saya berkata lain. Di tengah keluarga yang melihat perilaku saya, sebagai kepala keluarga saya teringat akan apa yang sering saya ucapkan di berbagai kelas. “Jangan berpikir terlalu jauh dengan ingin memberantas koruptor kelas kakap. Hentikanlah perilaku koruptor kelas teri dalam diri kita, seperti ketika di jalanan, di antrian, dsb.”
Dan malam itu, melalui sebuah kejadian sederhana, pernyataan saya diuji. Ya, ini memang cuma soal tilang. Tapi kenyataan bahwa ia disaksikan oleh seluruh anggota keluarga jelas sebuah ujian komitmen bagi saya.
“Pak,” polisi itu menghampiri lagi. “Sudah lah. Saya kasihan sama Bapak. Masak hanya karena kejadian sepele Bapak harus membayar denda segini. Saya mengingatkan Bapak untuk hati-hati. Apalagi Bapak bersama keluarga. Demi keselamatan Bapak, harap lebih waspada pada rambu-rambu. Ini surat-suratnya Pak.”
Saya kaget. Dia mengembalikan SIM dan STNK saya: utuh! Tanpa surat tilang apapun. “OK Pak. Terima kasih,” jawab saya sambil menerima kedua dokumen itu. Kami pun berlalu.
Sejatinya saya sudah siap dengan denda itu. Bagi saya, kalau uang itu jadi keluar, maka mungkin memang tidak ada berkah di dalamnya, hingga ia ‘dipaksa’ keluar dengan kejadian yang tidak menyenangkan.
Ya, malam itu saya tak jadi ditilang. Dan alhamdulilllah saya baru saja mengalami sebuah ujian atas apa yang saya ucapkan sendiri.
Alhamdulillah lulus ujian, sekitar 3 tahun yang lalu peristiwa ini juga terjadi dengan saya mas teddi, yang berbeda adalah lokasi dan orang yang terlibat. Saya berbahagia karena kejadian tersebut memberikan arti yang mendalam buat saya. lanjutkan
Alhamdulillah… Mantab!