“Malu bukanlah minder. Minder muncul sebab rasa takut. Malu terbit sebab keberanian.”
Sebahagian dari iman ada dalam rasa malu. Demikian sebuah ajaran sering kudengar sejak kecil. Namun baru belakangan kusadari, bahwa ternyata apa yang kupahami dulu kurang tepat. Malu yang dimaksud dalam ajaran itu, kiranya bukan sesuatu semacam ketidakpercayaan diri, atau keminderan. Ia adalah malu yang luhur, yang justru didasarkan pada keberanian tingkat tinggi.
Malu yang bagian dari iman, kiranya adalah malu dalam ketaatan. Cobalah berhenti sejenak, dan tengoklah diri dalam kehidupan ini. Segera lah kan kita insyafi, bahwa takkan sanggup nikmat hidup terhitung, meski dengan pena yang dibekali tinta sebanyak air samudera. Namun sungguh itu tak cukup menakjubkan, sebab Tuhan kiranya bekali insan dengan petunjuk untuk menjadi pemakmurnya. Petunjuk yang sedemikian gamblang, jelas, dan terang, hingga diri ini cukuplah menaati. Maka memang sungguh sederhana hidup ini: berada di jalan ketaatan. Dan kita akan jadi khalifah, yang bertugas menjadi pemakmur bumi.
Berbekal akal sehat sedikit sahaja, nyata lah bahwa memang tiada yang layak dilakukan diri selain taat. Bagaimana tidak? Sedang kita berasal dariNya, hidup dalam duniaNya, berbekal segala hal karuniaNya. Lalu di mana kah ada ruang untuk keluar dari ketaatan?
Maka malu, adalah rasa yang wajib hadir kala diri melenceng dari ketaatan. Malu, sebab kita bermaksiat kepadaNya, melanggar aturan yang sejatinya Dia berikan untuk kepentingan kita sendiri, menggunakan nikmatNya pula. Apakah yang lebih layak untuk dirasakan selain malu dalam hal ini?
Namun sungguh, malu jenis ini memerlukan keberanian. Sebab jiwa yang mampu menyadari hal serupa ini hanyalah jiwa yang bersih, karena terus membersihkan diri. Jauh lebih kencang di zaman ini, suara-suara yang kan membisiki bahwa di luar ketaatan ada lebih banyak kenikmatan. Dan melawan bisikan ini, yang acapkali berasal dari dalam diri, amat memerlukan keberanian.
Di titik inilah, baru kupahami bahwa insan yang malu, bukanlah ia yang minder. Insan dengan rasa malu, malu sebab keluar dari ketaatan, maka ia berani tuk menjadi tidak popular dari kerumunan pengejar kenikmatan. Sedang ia yang minder, sejatinya hanyalah takut akan anggapan sekeliling yang tak esensial, yang takkan mendatangkan keburukan di hari akhir nanti. Inilah minder serupa takut bicara di depan umum, takut bergaul dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya, takut mencoba sebuah penugasan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan malu, minder seperti ini lahir dari rasa takut.
Sedang malu yang sejati, adalah semacam malu berbuat dosa, malu bermaksiat, malu meninggalkan ketaatan sebab malas, dan seterusnya. Maka diberanikanlah diri tuk melawan itu semua, sebab tidak ingin menanggung malu pada Tuhan di hari akhir kelak.