“Pemberianmu sejatinya bukanlah sebab kebesaran hatimu. Ia adalah kewajibanmu bagi kehidupan.”
Sering aku merasa besar, hanya sebab melepas secuplik pemberian. Padahal apa yang kuberikan itu, sebesar apapun bagiku, tak lebih kecil semata, dibandingkan apa yang kunikmati tanpa membeli.
Cobalah hidup pada satu daerah yang sepi nan terpencil, tanpa seorang pun tinggal di sekeliling. Adakah kenyamanan hadir dalam hati? Maka keberadaan diri dalam keriuhan sekeliling adalah sebuah nikmat, yang mungkin amat jarang disyukuri.
Sejenak, pikirkan kehidupan ini runtuh. Ekonomi jatuh. Adakah kita mampu menafkahi diri jika tak ada seorang pun yang mampu membeli? Maka makmurnya negeri pun adalah nikmat, yang kerapkali silap kita syukuri.
Penjual membutuhkan pelanggan. Tanpa pelanggan, tak ada penjualan. Namun pelanggan pun, membutuhkan penjual. Sebab tak ada penjual, berarti sulitnya terpenuhi kebutuhan. Maka tersedianya pelanggan bagi penjual, dan tersedianya penjual bagi pelanggan, bisa jadi pula nikmat yang lalai disyukuri.
Demikianlah, pemberian kita pada kehidupan, adalah kewajiban, alih-alih semata kebaikan diri. Kita berhutang pada kehidupan yang telah menghidupi kita dengan keramaiannya, maka wajiblah diri menjaga keberlangsungannya. Jika kaya, bantu yang miskin. Jika miskin, bantu yang kaya.
Ah, yang kaya membantu yang miskin kita tahu. Tapi bagaimana yang miskin membantu yang kaya?
Mudah saja. Bukankah jalanan bersih sebab ada orang yang bersedia membersihkannya? Dan rasanya mereka bukan orang kaya. Bukankah nasi tersedia sebab ada petani yang merawat sawahnya? Dan sepertinya mereka bukan orang kaya. Maka para kaya, wajiblah berterima kasih pada yang miskin melalui hartanya. Begitu pun yang miskin wajib berterima kasih pada yang kaya melalui kesungguhan karyanya. Tak ada yang lebih mulia dari keduanya, kecuali sebab ketakwaan.