Pagi ini istri saya bercerita tentang seorang kawan di kantornya yang tak berapa lama lagi akan pindah perusahaan. Ia adalah karyawan yang baru setahun berkarya, dan sebelumnya merupakan lulusan semacam program management trainee di sana. Saya pun tergelitik bertanya, “Kalau ex MT begitu, lalu keluar, nggak ada penalti ya?”
“Nggak ada lah. Bebas aja, nggak ada ikatan. Nggak kaya beberapa perusahaan yang bahkan sampai menahan ijazah karyawan MT-nya agar tidak keluar seenaknya kalau merasa tidak cocok. Kantormu dulu kan juga gitu.” jawab istri saya.
Iya juga sih. Saya pun teringat kembali pengalaman di kantor lama saya. Sebuah perusahaan asuransi yang merupakan anak perusahaan dari grup besar raja otomotif di Indonesia. Grup besar ini, dalam sejarahnya, tidak pernah membuat ikatan dinas dalam program MT yang mereka buat. Saya bahkan teringat kisah salah seorang direktur di kantor lama saya itu, ketika beliau dulu masih menjadi berdiskusi dengan seorang presiden direktur legendaris di grup ini.
“Pak, lulusan MT kita banyak dibajak sama perusahaan lain nih. Yang bagus-bagus lagi. Mungkinkah kalau kita berlakukan ikatan dinas agar mereka tidak mudah keluar masuk?” kata beliau pada sang presdir.
Tanpa diduga, jawaban sang presdir begitu unik, dan sangat saya ingat hingga sekarang.
“Bukankah kamu ingat corporate aim kita? Prosper with the nation. Ini mungkin salah satu sumbangan kita untuk negeri ini. Menyuplai orang-orang bagus yang bisa bermanfaat di tempat lain.”
Wah, saya sungguh tak bisa lupa kalimat dalam cerita itu. Ya, kerja sebuah perusahaan sejatinya tidak hanya memastikan bisnisnya tetap hidup dan mendapat keuntungan besar. Sebuah perusahaan, sejatinya memiliki beban moral untuk mensuplai para pemimpin berkualitas yang akan membangun negeri ini. Apalagi tidak terbantahkan, perusahaan lah kawah candra dimuka tempat tumbuh dan berkembangnya para pemimpin. Dengan model pendidikan yang ada saat ini, kita belum bisa mengharapkan institusi pendidikan untuk menghasilkan insan-insan yang kompeten. Perusahaan lah yang saat ini menjadi tulang punggung.
Sisi lain, saya memang termasuk yang tak setuju dengan adanya ikatan dinas, apalagi sampai menahan ijazah yang merupakan hak individu. La sang karyawan yang sekolah bertahun-tahun hingga lulus, kok ya perusahaan yang seenaknya menahan ijazah. Apakah perusahaan sudah izin pada orang tua sang karyawan yang tanpa pamrih sudah berkorban jiwa raga agar anaknya bisa lulus dan bisa digunakan keahliannya di perusahaan?
Tapi kami sudah keluarkan dana besar untuk melatih para karyawan MT!
Loh, bukankah saat ini tak ada perusahaan yang tidak pernah merekruit seorang pro hire yang berpengalaman? Lalu saat sebuah perusahaan bisa dengan mudah mendapatkan karyawan yang berpengalaman, apakah mereka lupa siapa yang mendidik sang profesional itu? Apakah ketika mereka merekruit sang karyawan, mereka meminta izin dan membayar biaya pengembangan yang telah dikeluarkan perusahaan sebelumnya? Saya yakin tidak.
Maka memang sudah seharusnya setiap perusahaan berlatih untuk ikhlas dalam mengembangkan karyawan. Sebab toh pada intinya akan timbal balik semata. Kita mengeluarkan dana untuk melatih, lalu dinikmati oleh perusahaan lain. Sebab pada saat yang sama, kita pun kerap menikmati hasil didikan perusahaan orang lain.
Tapi yang keluar di perusahaan saya banyak sekali. Kami rugi besar!
Nah, kalau begitu soalnya, maka tengoklah ke dalam. Evaluasi diri. Ada apa kah, sehingga banyak karyawan tak betah? Mungkin ada budaya yang perlu dibenahi. Mungkin ada gaya kepemimpinan para atasan yang tak lagi sesuai dengan perkembangan generasi kini. Mungkin ada banyak kebijakan yang tak lagi relevan dan membuat gerah banyak karyawan potensial. Menahan para karyawan dalam kondisi yang sedang bermasalah, sungguh tak akan menyelesaikan masalah. Malah mereka bisa jadi menciptakan kondisi yang semakin tidak nyaman dengan bekerja seadanya. Tubuh hadir, hati tidak.
Lalu bagaimana?
Ya, dalam pandangan saya, itu tadi. Tak perlu lah membuat ikatan dinas. Sebab karyawan yang bagus takkan berkontribusi optimal hanya semata-mata karena diikat. Mereka akan berkontribusi besar kala dibantu untuk menumbuhkan dirinya.
kereen..absolutely agree.
betul…!
Aku suka tulisan yg ini 🙂 Masalahnya itu kalo perusahaannya bukan perusahaan bagus yg banyak main tipu main peras, dg kualitas sdm yg apa adanya. Mana perduli sama serving the nation atau serving others. Masa depan aja keriyep2 :p
Yang masuk yang yang sesuai.. hehe..
Menarik Mas Teddi tulisannya. Thanks for sharing it. Urun rembug ya.
Dalam hal development new entry level, memang ada dua pendekatan. pertama, pendekatan yang menghendaki adanya penahanan (retain) new entry employee (MT) melalui ikatan dinas, dari 1 tahun sd 2 tahun ditambah dengan adanya denda bila keluar saat ikatan dinas. Pendekatan ini mengedepankan bahwa perusahaan sudah menginvestasikan waktu dan biaya kepada MT sejak proses seleksi sampai dengan saat ia diterima sebagai karyawan.
Pendekatan kedua, yang tidak membebankan apapun kepada new entry level meskipun ia keluar di waktu kapanpun. Pendekatan ini melihat bahwa karyawan yang tertarik dengan perusahaan dimana ia dikembangkan, (tentu, ketertarikan itu bisa terjadi karena banyak faktor), tanpa diikat pun ia akan tetap bertahan dan berkembang di perusahaan tersebut. Sehingga ketika ia memutuskan untuk keluar, sudah bisa dipastikan, ia tidak memiliki ketertarikan lagi terhadap perusahaan dimana ia tinggal sebelumnya.
Saya pribadi melihat pendekatan kedua lebih challenging. Mengapa? disinilah feedback dari karyawan yang memilih tetap tinggal dan yang memilih untuk keluar menjadi krusial untuk organisasi. Ketika ia tidak diikat oleh apapun selama dikembangkan, ada resiko ia akan berpindah “dengan mudahnya” ke organisasi lain KETIKA organisasi saat ini tidak cukup mampu mempertahankan faktor-faktor yang membuatnya bertahan. Tapi bila yang dicarinya ditemukan di organisasi, seperti keseimbangan kehidupan kantor dan keluarga, perhatian terhadap pengembangan kompetensi dan program-program menarik lainnya seperti diskon produk dari organisasi yang diberikan (sesederhana itukah? ya, bisa jadi 🙂 , maka praktisi SDM bisa segera menemukan celah kekurangan di organisasinya. feedbacknya bisa langsung terasa.
Regards,
Regards,
Selamat pagi.
Saya ingin bertanya, saya sekarang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya masuk ke perusahaan ini karena mengikuti jalur beasiswa ikatan dinas yg diberikan perusahaan, yg mana selesai kuliah akan langsung dipekerjakan dengan kontrak 5 tahun. Ijazah SMA dan Ijazah kuliah ditahan perusahaan sampai masa ikatan dinas berakhir.
Dalam perjanjian ikatan dinas di salah satu pasal dikatakan bahwa jika Penerima Beasiswa yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri maupun karena melakukan kesalahan/pelanggaran yang dapat mengakibatkan pengakhiran beasiswa dan atau pemutusan hubungan kerja maka Penerima Beasiswa bersedia membayar ganti rugi kepada Perusahaan.
Namun pasal lain mengatakan bahwa Surat Keterangan pernah bekerja dan ijasah asli akan diberikan oleh Perusahaan kepada Penerima Beasiswa hanya apabila seluruh dokumen dan barang – barang milik Perusahaan telah dikembalikan seluruhnya kepada Perusahaan, serta hutang/ganti rugi kepada Perusahaan telah dibayar/diselesaikan seluruhnya dengan baik.
Jadi yg ingin saya tanyakan :
1. jika saya berencana mengundurkan diri dari perusahaan dan tidak ingin mengambil ijazah saya, apakah saya tetap dapat dikenakan pinalti yaitu membayar ganti rugi?
2. Apa masalah beasiswa ikatan dinas dgn perjanjian seperti itu dapat dibawa ke ranah hukum pidana?
Terima kasih
Maaf saya kurang paham secara aturan bagaimana. Opini dalam artikel di atas bukan ditujukan untuk membahas masalah peraturan ataupun hukum. Hanya masalah filosofi ikatan dinas. Dan ide di atas juga lebih ditujukan untuk organisasi daripada untuk karyawannya.
pak teddi , misal di awal karyawan ada perjanjian kerja waktu tertentu dan di dalamnya kontrak dengan ikatan dinas 2 tahun. Tiba tiba pas 3 bulan udah di angkat sebagai karyawan tetap. Nah saya ingin bertanya, bagaimana status karyawan tersebut?dan bila karyawan sudah 10 bulan mengundurkan diri apakah kena denda?
terima kasih
pak teddi