Coaching dan Jalan Spiritual

“Kita dapat saling memberi bantuan dan dukungan di masa-masa sulit, tapi jangan sedikit pun berpikir bahwa kita akan menyembuhkan saudara atau saudari kita.”

“Saat saudara kita dilanda kesulitan, kita semestinya merangkul mereka dan memberi tahu bahwa kita ada untuk menemani mereka—untuk mendengar—tanpa disertai pikiran bahwa mereka adalah ‘proyek’ yang akan kita perbaiki.”

Dua nasihat di atas berasal dari buku Sufi Talks karya Robert Frager, alias Syekh Ragib Frager, seorang Amerika yang juga merupakan mursyid tarikat sufi Tarikat Jerrahi.

Saya sungguh tersentuh. Sebab apa yang beliau sampaikan sebagai salah satu jalan tasawuf, jalan ruhani, yakni ketika kita saling mendukung, adalah pula apa yang saya temukan dalam bidang saya, coaching. Dalam coaching, kita tidak perlu menasihati, sebab dalam banyak kali, jawaban telah tersedia di dalam diri, menunggu untuk dikeluarkan. Tugas seorang coach adalah menjadi pendamping klien mengeluarkan jawaban itu. Jawaban yang tertutupi oleh kabut pikirannya.

Dari sisi tasawuf, seorang murid tidak dianjurkan memberi nasihat, sebab memang belum merupakan tugasnya. Memberi nasihat adalah tugas seorang mursyid. Seorang murid, hanya bertugas menjadi teman perjalanan saudaranya. Sebab Allah memiliki caraNya sendiri untuk mengajari setiap orang. Maka mendengar, adalah keahlian yang perlu dilatih oleh seorang murid.

Lebih jauh, dalam Sufi Talks juga dijelaskan sebuah nasihat, “Awal jalan ruhani adalah mendengarkan, dan ujungnya adalah menyimak.”

Duh, betapa ‘berat’-nya. Kita memiliki telinga, namun tak terlatih menggunakannya. Padahal, kenyataan bahwa ia tersedia dua di kiri kanan kepala, tanpa penutup, adalah tanda bahwa kita perlu lebih banyak mendengar. Dari mendengar, kita perlu terus belajar untuk menyimak. Ya, mendengar dan menyimak, sungguh memiliki tingkatan yang berbeda.

“Ketika sedang mendengarkan orang lain, saya sarankan untuk menerapkan SDT—sabar, diam, dan tawaduk. Bersikap sabar adalah menahan diri dan tidak terburu-buru memberikan jawaban atas masalah orang lain—menunggu dan tidak tergesa-gesa membuat penilaian atau kesimpulan. Sikap diam menuntut kita lebih banyak mendengar dan mengurangi bicara. Sikap tawaduk berarti selalu ingat bahwa kita tidak tahu semua jawaban, ” urai Syekh Frager.

Ya, jawaban itu ada di dalam. Ia kerap kali tertutupi kabut pikiran. Sabar, diam, dan tawaduk, akan menjadikan kabut pikiran itu terurai perlahan-lahan. Serupa membiarkan air yang keruh, hingga perlahan-lahan kotoran yang tersebar mengendap di dasar gelas, hingga air jernih bisa kita nikmati.

 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *