Agama mengajarkan diri ini tuk terus meluruskan niat. Lama kurenungi, baru belakangan ada setitik jawaban yang begitu berarti.
Ya, niat mesti lah terus diluruskan, sebab niat sangat mungkin bengkok. Contohnya begini.
Kita ingin pergi ke Jogja. Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka dipilihlah kereta api sebagai cara menuju ke sana. Niat yang telah dipasang: pergi ke Jogja, sampai dengan selamat, dengan biaya sesuai dengan tarif kereta api.
Lalu naiklah kita, dan menikmati perjalanan. Sampai, kala kita ingin memesan makanan di dalamnya, yang kita temui adalah seorang petugas layanan yang sama sekali tak ramah. Saking tak ramahnya, hati kita pun bergejolak. Kesal luar biasa. Maka segeralah diri ini menetapkan hati bahwa sesampai di Jogja akan segera mengirim sebuah surel ke salah satu media online untuk menyampaikan keluhan keras atas layanan yang buruk tadi.
Ya, perjalanan pun jadi tak nikmat, sebab rasa kesal ini menggelegar. Selama sisa waktu perjalanan, kepala ini tak henti memikirkan kalimat-kalimat tajam yang akan dituliskan.
Dan, mari berhenti sejenak. Merenungi apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa rasa kesal itu muncul?
Ah, niat! Mari menengok kembali pada niat yang telah dicanangkan. Apakah sejatinya niat kita sejak awal? Bukankah hanya pergi ke Jogja, sampai dengan selamat, dengan biaya sesuai dengan tarif kereta api? Bukankah hanya ini saja?
Adakah kita pernah berniat untuk naik kereta api, dan mendapatkan pelayanan yang ramah? Tidak, bukan? Bukankah apa yang telah kita niatkan sejak awal toh akhirnya tercapai juga: sampai di Jogja, selamat, biaya sesuai? Lalu mengapa terganggu dengan hal-hal yang memang sejak awal tak pernah kita niatkan? Mengapa justru yang tak kita niatkan itu lah yang mendominasi pikiran dan perasaan? Mengapa bukan rasa syukur yang hadir, sebab kita telah mendapatkan apa yang kita harapkan?
Ah, betapa mudah niat ini bergeser, dan menggeser kebahagiaan kita? Betapa cepat perubahan niat itu terjadi, bahkan tanpa disadari? Bukankah Dia telah kabulkan apa yang kita harapkan, jauh lebih banyak daripada yang kita tak harapkan? Lalu mengapa lalai mensyukurinya, hanya karena ada kejadian lain yang memang tak pernah kita niatkan tuk terjadi?
Maka benarlah ajaran: luruskanlah niat, luruskanlah niat, luruskanlah niat. Sebab memang niat mudah berbelok. Bahkan tanpa sadar.
Padahal niat, ibarat pendaftaran. Apa yang kita niatkan, di sana lah amalan kita terdaftar. Niat untuk meraih keridhaan Allah, terdaftar lah amal kita di hadapanNya. Kala diluruskan, tiap usahanya berbuah kebaikan. Meski sederhana, meski remeh di hadapan manusia. Niatkan tuk manusia, kepadanya lah pula amal kita terdaftar. Kala tak dihargai, habislah sudah semangat, sebab makhluk memang tak punya banyak stok penghargaan.
Luruskanlah niat.