Kemarin, saat dalam perjalanan pulang dengan mengendarai motor, ban kami bocor. Beberapa ratus meter kami mesti mencari tukang tambal ban, sebelum akhirnya mendapati yang terdekat. Seseorang yang juga sedang menambal ban motornya bercerita bahwa itu untuk kelima kalinya ia menambal ban bagian belakang. Entah berapa lagi untuk ban depan.
Di titik itu, terbersit sebuah tanya, “Sudah berapa kali ya motorku ini mengalami ban bocor?”
Pikiran saya pun melayang ke beberapa ingatan. Dan ternyata, saya tak bisa menemukan cukup banyak. Seingat saya, sejak saya memiliki motor ini hampir 7 tahun lalu, baru 3-4 kali ban saya mengalami kebocoran.
Saya terhenyak. Betapa panjang perjalanan motor ini, dan betapa sedikit pengalaman menunggu tambal ban yang pernah saya alami. Betapa jauh lebih banyak pengalaman saya berkendara ribuan kilometer tanpa kendala.
Saya pun malu sendiri. Teringat saat ban motor bocor tadi, terbersit keluh tiada henti sepanjang jalan, sebelum akhirnya menemukan penambal ban. Padahal, sungguh pengalaman serupa ini terjadi hanya sesekali, dalam 7 tahun! Sementara, sekian lama berkeliling, jauh lebih banyak dimudahkan dan dimuluskan.
Tak berhenti sampai di situ. Renung panjang pun terbit, menelaah berbagai keluhan hidup yang silih berganti. Keluhan atas hal-hal kecil, sementara, padahal banyak hal lebih besar lalai disyukuri.
Duhai, betapa memalukannya. Nikmat besar tak dilihat, susah kecil tak disenyumi. Malu, sungguh malu. Padahal jaminan atas kesabaran, dan pelipatgandaan kesyukuran, berkali-kali telah didengar.
Moga Allah ampuni kelalaian ini.