Apa yang kita tuai pastilah sudah sesuai dengan yang sudah kita tanam.
Jikalau ia terasa kurang, pastilah ia tengah ditangguhkan.
Jikalau ia terasa lebih, yakinlah ia harus dibayar di kemudian hari.
KeadilanNya sempurna. KeadilanNya Maha. Akal ini lah yang terbatas memahami keadilanNya. Sebab keadilan memang tak berbanding lurus dengan rasa nyaman. Dalam keadilan, kadang nafsu bergejolak, karena inginnya tuk selalu dituruti. Padahal dalam keadilan, justru kerap kemauan mesti dikebiri.
KeadilanNya sempurna. Maka apa yang kita terima, pastilah memang telah menjadi jatah kita. Ia takkan tertukar, kurang atau pun lebih. Siapa kah kita yang berani menggugat pengaturanNya, sedang Dia Maha Sempurna dalam pengaturanNya? Menganggap yang kita terima kurang, berarti menganggapNya salah takar. Duh, Maha Suci Dia dari segala kekurangan makhluknya.
Maka atas apa yang terasa kurang, ada 2 kemungkinan. Pertama, ia sedang ditangguhkan. Kedua, ia tak baik untuk kita, maka akan segera diberi gantinya.
Pada yang pertama, kita mestilah menengok ke dalam diri, adakah diri ini telah layak menerima nikmat yang sedang diminta? Bagaimana mungkin hendak memiliki mobil jika mengemudi saja belum mampu? Bagaimana hendak memimpin orang lain jika memimpin diri saja masih terbata-bata?
Sedang pada yang kedua, kita mesti bersabar dalam gembira. Sebab apa yang tak dikabulkan, memang bisa jadi tak baik bagi diri. Maka tidak dikabulkan harusnya hadirkan rasa syukur nan mendalam, karena telah dihindarkan dari yang merugikan. Pada saat yang sama, ia pun sejatinya tumbuhkan rasa syukur, sebab gantinya nan lebih baik telah tersedia. Namun terkait dengan yang pertama, kita mesti bertanya: ada kah diri ini telah siap menerimanya?
Nah, itu tadi tentang merasa kurang. Bagaimana dengan merasa lebih?
Ini mungkin lebih jarang, sebab tabiat manusia yang cenderung lebih mudah mendapati apa nan kurang daripada apa nan lebih. Namun pernahkah kita merasa mendapat sesuatu, tanpa perlu berusaha keras? Ia seolah hadir begitu saja tanpa ketekunan yang berarti?
Nah, ini lah sejatinya yang lebih itu. Dan pada yang lebih, sebab keadilanNya, ada 2 kemungkinan. Pertama, ia adalah sesuatu yang ditangguhkan, atas usaha kita yang telah lalu. Pada yang serupa ini, mestilah kita hadirkan syukur berlipat-lipat. Kita telah dianggap layak, maka kini kita menerimanya.
Kemungkinan kedua, ia adalah sesuatu yang mesti kita bayar di kemudian hari. Kita menerimanya kini, sebab kemurahanNya, melihat diri ini yang demikian membutuhkan. Sebagaimana kerap terdengar, “there is no free lunch”, apa yang diterima, mestilah dibayar, kini atau nanti.
Tiap keberhasilan bagaikan puncak menara. Urusannya tinggal kita bangun menara, baru meletakkan puncaknya. Atau membuat puncaknya, baru membangun menaranya. Dalam keadilanNya, keduanya dipergilirkan.
Maka nikmatilah apa yang kau miliki, wahai diri. Karena tiada lah sesuatu kau miliki kecuali apa yang ada padamu hari ini. Yang kemarin telah usai. Yang esok belum lah jadi. Namun janjiNya demikian pasti, pada tiap yang disyukuri, Dia sediakan ganjaran berlipat-lipat kali.