Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu.
Adz Dzariyat: 56
Tugas kita jelas: menjadi abdi yang beribadah. Maka produktivitas kita dihitung dari seberapa banyak yang kita hasilkan dalam rangka ibadah. Beruntungnya, bagi kita, peluang ibadah ada pada setiap hal. Ya, setiap aktivitas yang diniatkan untuk ibadah, dijalankan sesuai syariah, akan termasuk dalam ibadah. Apatah lagi, jelas-jelas Dia firmankan:
“Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”
Diri ini ialah khalifah, wakilNya dalam mengelola bumi. Karenanya Dia anugerahkan ilmu berupa nama-nama pada kakek kita, Adam. Yang dari pengetahuan itu terbukalah pintu-pintu pemahaman akan berbagai hakikat alam dan kehidupan.
Kita adalah wakil. Dan sebagaimana layaknya wakil, diri ini memiliki tugas. Tugas yang jika dijalankan kan jadikan kita selamat pada hari pertanggungjawaban. Namun jika lalai, habislah sudah. Masalahnya, sungguh kita tak pernah tahu, dan tak pernah diberi tahu, tugas apa kah persisnya itu. Tak ada manusia lahir dengan selembar job description bagi hidupnya. Yang ada hanyalah panduan hidup di jalan yang lurus, yakni jalan orang yang telah diberikan nikmat, jalan orang yang selamat, jalan orang yang terlebih dahulu menunaikan tugas. Juga yang ada adalah rambu-rambu jalan orang yang dimurkai, sebab telah tahu namun tak mau menepati, dan jalan orang yang sesat, yakni yang malas meniti yang sejati.
Namun dalam jalan yang lurus itu, apa tepatnya nan harus kita kerjakan, profesi apatah yang hendak kita jalani, tak pernah ada petunjuk pasti. Diri inilah, berbekal pikiran dan hati, yang mesti menelisik tuk menemui.
Adalah Stephen R. Covey, dalam karyanya The 7 Habits of Highly Effective People, yang pertama kali membuka mata penulis tentang misi. Ya, misi. Alasan keberadaan diri ini. Bahwa jauh sebelum memiliki visi, memiliki impian, kita mesti memahami, apatah guna diri ini di tempat ditakdirkan kini. Dari pemahaman akan misi, kan lahirlah gambaran akan apa-apa saja yang perlu dilalui, dicapai, agar tugas penciptaan ini tuntas. Beliaupun mengutip Victor Frankl, psikiater kenamaan penulis Man’s Search for Meaning itu, “Sejatinya, kita mendeteksi, alih-alih menciptakan, misi kita dalam hidup.”
Jelas saja, misi itu dideteksi. Sebab diri ini wakil, yang pasti telah jelas tugasnya. Mendeteksi berari memperhatikan tanda-tanda dengan seksama. Apakah yang kita senangi? Apakah yang kita sanggup lakukan mesti tanpa belajar dengan kesungguhan yang berarti? Apakah yang menggerakkan jiwa ini? Apakah yang rela bersusah payah dijalani, meski tak sepeser pun diterima?
Jawaban-jawaban atas kesemua ini kan hadirkan kata-kata kunci yang hantarkan kita pada misi. Dan berbekal misi, kita rencanakan dan jalani hari. Sebab pada setiap hari terlalu banyak godaan silih berganti. Tabiat manusia tuk hanya kerjakan apa yang tampak baginya. Padahal, jalan kebahagiaan sejati adalah meyakini adanya kegaiban: hidup abadi setelah yang ini. Pemahaman akan misi memecut diri tuk hanya mengerjakan yang berarti: segala hal yang mewujudkan misi. Segala hal yang jadikan hidup ini berarti.
Lalu, bagaimana kah mendeteksi misi?
Masih Stephen R. Covey, beliau sarankan kita tuk memetakan peran-peran yang sedang dijalani dalam hidup kini. Lalu kenali siapa saja tokoh-tokoh kunci, yakni orang-orang yang terkena dampak langsung dari peran tersebut. Orang-orang yang sejatinya kita layani dalam peran tersebut. Nah, sampai titik ini, kami memodifikasi sedikit pertanyaan yang diajukan. Sembari memikirkan tiap tokoh kunci, tanyakanlah pada diri:
Mengapa Dia takdirkan diri ini berada bersama orang ini? Dengan karakteristik dan kondisi seperti ini? Apa tugas yang Dia berikan pada diri ini? Apa pelayanan yang mesti diri ini tuntaskan dan berikan padanya?
Sebab tiada daun jatuh sehelai pun, melainkan berada dalam pengaturanNya, maka tiap pertemuan dan perpisahan pastilah ada tugas dariNya.
Apa?