“Seorang muslim (yang baik) adalah yang tangan dan lisannya tidak menyakiti orang lain”
(HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40).
Hidup serupa naik taksi. Dialog wajib pertama kali menutup pintu adalah tentang tujuan. Jika ia jelas sejak awal, tidak saja perjalanan kan berakhir dengan kepuasan sebab sampai tujuan, ia juga menghemat waktu dan biaya. Namun seseorang yang naik taksi tanpa tujuan, tidak saja habis usia dan dananya, ia pun kan turun dengan kehampaan belaka.
Maka milikilah tujuan hidup, wahai diri. Visi, misi, target, hingga rencana harian. Agar hari-hari terlewati dengan perjalanan maju pada keabadian yang penuh kedamaian.
“Aku sudah memiliki rencana, tapi banyak yang tak terlaksana,” keluhmu.
Ya, memiliki rencana itu satu hal. Menjalankannya dengan istiqamah adalah hal selanjutnya. Rencana, adalah rangkaian aktivitas yang bisa diperkirakan, karenanya ia menghendaki keteguhan diri menjalankannya. Sementara itu, kehidupan telah memiliki aturannya sendiri. Kita pasti hidup dalam sebuah atau dua buah komunitas, yang setiapnya menghendaki peran bagi diri. Dan peran-peran ini akan menuntut haknya, seringkali tanpa bisa kita kendalikan. Suka maupun terpaksa.
Ada sebagian tuntutan ini yang selaras pula dengan visi dan misi. Ada sebagian lain yang tidak. Dan banyak insan belum terampil untuk jeli mengenali beda keduanya. Lalu terjebaklah ia dalam kesibukan tiada henti. Hingga apa yang dinamakan visi dan misi, tak pernah terwujud menjadi aksi. Jika pun dikenali, diri ini terlalu lemah untuk menolak yang tak berarti.
Adalah Stephen R. Covey, yang satu kali mengatakan, “Kita bisa mengatakan ‘tidak’ pada yang tak penting, jika kita memiliki api ‘ya’ yang membara dalam diri.”
Ya, kata ‘tidak’ adalah kuncinya. Kemampuan menolak adalah bekalnya. Cermati, apakah aktivitas yang ditawarkan ini selaras dengan visi dan misi. Jika ya, katakan ‘ya’. Jika tidak, teguh dan beranikan diri katakan ‘tidak’.
Tak berani?
Ingat-ingatlah pekerjaan besar di hadapan sana. Ia menunggu tuk diselesaikan. Biarkan tujuan besar ini terbayang di kepala, membara di rasa. Membimbing lisan tuk berkata, “Maaf, aku tak bisa melakukannya sekarang. Ada hal penting yang perlu kukerjakan sekarang.”
Sungguh ini tak mudah. Dan karenanya memerlukan latihan. Apatah lagi yang menggoda itu bukan sesuatu yang buruk. Ia kerapkali tampak baik, namun tak mengantarkan pada visi dan misi. Misalkan, misi diri ini di rumah adalah menghendaki jadi sahabat baik bagi anak-anak. Lalu godaan itu datang, godaan bernama pekerjaan. Yang sejatinya bisa dikerjakan esok, namun ia menyapa malam-malam. Fitrah diri kan cenderung berkata ‘ya’. Maka keyakinan akan masa depan lah yang kan membarakan jiwa tuk berkata ‘tidak’, sebab ada tugas hendak ditunaikan malam ini.
Menonton TV, obrolan tak tentu arah, reuni yang tak habis-habis, adalah sekian banyak godaan yang kan menemukan pembenarannya. Hanya api membara dalam diri yang kan meluruhkannya. Katakan ‘ya’, pada yang penting. Katakan ‘tidak’ pada nan semata genting, namun sejatinya tak penting.
Produktivitas, kerapkali bukan soal harus mengerjakan apa. Melainkan harus tidak mengerjakan apa.