“Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Al Hajj: 46
Sungguh mengejutkan, ketika Sir Alex Ferguson, pelatih legendaris Manchester United menulis dalam karya terbarunya tentang kepemimpinan, Leading. Bahasan pertama yang beliau tulis, yakni keterampilan pertama yang krusial bagi seorang pemimpin adalah keterampilan mendengar. Sebuah kisah menarik ia paparkan beberapa waktu sebelum Manchester United memutuskan untuk merekruit Eric Cantona, penyerang yang akan menjadi legenda di klub Inggris itu. Salah satu momen penting yang menanamkan ide untuk merekruit Cantona adalah ketika Sir Alex mendengar dan menyimak obrolan para pemain usai pertandingan, tentang betapa mereka mengagumi keahlian Cantona di lapangan. Dalam lembar-lembar awal buku Leading itu, pelatih yang dikenal tegas ini rupanya adalah insan yang menggambarkan dirinya sebagai orang yang amat gemar menyimak obrolan, saran, dan masukan, yang kerap didengar demikian singkat. Namun yang singkat itu, rupanya berdampak besar di kemudian hari.
Sejarah mengajarkan pada kita bahwa penemuan besar adalah ia yang lahir memenuhi kebutuhan banyak orang. “Ciptakan apa yang pelanggan Anda butuhkan,” ujar sebuah tips bisnis, bukan apa yang Anda inginkan.” Resep yang terlihat mudah, namun berat dijalankan. Apa pasal? Karena apa yang menjadi kebutuhan, seringkali tak tampak di permukaan. Tak ada seorang pun yang pernah mengatakan pada dunia bahwa: kami memerlukan smartphone! Kebutuhan ini terpendam dalam, menghendaki para penemu untuk tidak hanya melihat, namun mencermati. Mengosongkan prasangka dan keinginan diri, untuk kemudian menyediakan ruang bagi informasi dari orang lain.
Tapi jangan salah sangka. Para pemimpin yang baik, meski pendengar yang handal, bukanlah berarti menyetujui segala masukan yang diterimanya. Bukan pula ia takkan bertindak kecuali ada perintah atau saran dari orang lain. Sebab yang terucap, sebagaimana telah kita ulas di paragraf di atas, kerap bukan kebutuhan yang sebenarnya. Kebutuhan, selalu terpendam. Ia menghendaki diri ini untuk menyelam dalam. Maka para pemimpin, takkan puas dengan masukan yang terucap. Ia bangkitkan keingintahuan akan sesuatu yang melandasi semuanya. Melihat melampaui batas. Menangkap yang sayup-sayup.
Mendengar, adalah keterampilan. Ia perlu dilatih dengan ketekunan, sebab sepanjang hidup ia jarang diajarkan. Tengoklah daftar buku dan pelatihan. Sekian panjang membahas tentang bagaimana bicara dengan baik, meyakinkan, dan penuh percaya diri. Sungguh amat jarang ada buku yang membahas tentang mendengarkan. Jadilah mendengarkan, meski demikian penting, meminta diri ini untuk melebarkan zona nyaman dan meruntuhkan sekian banyak kebiasaan.
Ambillah waktu untuk mendengar, wahai diri, sebelum mengambil tindakan. Telinga yang dua dan tanpa penutup itu sungguh sebuah pertanda, bahwa ia lah mesti digunakan lebih banyak daripada lidah yang hanya sebiji ini. Mendengarlah secara mendalam, dengan mengesampingkan ego dan keinginan untuk tampak lebih dari orang lain. Niscaya pikiran jernih, dan kata demi kata yang kau dengar kan melahirkan ide-ide segar tuk diolah kembali.
Mendengarlah dengan hati. Sebab tembok tebal penghalang bukanlah apa yang ada di telinga, namun apa yang ada di dalam dada. Kita mendengar, apa yang kita yakini benar. Maka pada tiap kata yang terucap oleh rekan bicara, rasakanlah yang bergetar dalam dadanya. Sungguh amat sering, itulah jawaban atas sejuta tanya.
Lebih jauh, psikolog kenamaan Carl Rogers pernah mengungkapkan, “Mendengar itu saja, menyelesaikan separuh dari masalah.” Ya, mendengar dengan penuh minat dan perhatian adalah obat bagi ia yang perlu bercerita. Ceritanya kerap kusut, sekusut pikiran dan perasaannya. Namun kala didengarkan dengan seksama, rajutan benang itu perlahan jadi jelas ujung dan pangkalnya. Sungguh pada rekan yang berkeluh kesah, diri ini kerap tak perlu berpusing memikirkan solusinya. Cukup mendengar saja, dan jawaban itu kan keluar dari dirinya.
Bersedekahlah dengan mendengar.