“Allah-lah yang menidurkanmu pada malam hari.”
Al An’am: 60
Tiga hari ku menjalankan tugas. Bangun lebih pagi dari biasa. Tidur lebih malam juga. Tumpukan lelah di minggu-minggu sebelumnya pun terasa. Hari ini tubuhku meminta haknya. Ia lelah luar biasa. Tak sanggup mata ditahan, sebab kepala pusing luar biasa.
Alhamdulillah, menambah tidur beberapa jam mulai terasa jadi obatnya. Rehat, ia bukan soal remeh belaka. Ialah tempat tubuh mengisi bensin. Repotnya, tak seperti kendaraan, bensinnya tubuh bukan hanya satu jenis. Ia banyak hal. Maka tak mungkin tubuh terisi kembali dengan energi, jika rehat yang kala sudah kelelahan. Sebagaimana mengisi bensin sungguh terlambat dilakukan di tengah kemacetan.
DiciptakanNya malam agar diri ini mudah beristirahat. Sebab istirahat itulah yang kan memampukan kita bekerja kembali di siang hari. Maka terus-menerut bekerja tanpa memikirkan istirahat sejatinya bukan kesungguhan. Ia lah bahaya yang datangnya tak segera, namun terasanya belakangan. Jiwa yang sungguh-sungguh memikirkan tujuan besar. Dan tujuan besar, takkan dicapai dalam sehari. Agar perjuangan berhati, berbulan, bertahun akhirnya membuahkan hasil, insan nan sungguh-sungguh amat perhatian pada primanya kondisi, kuatnya hati, kokohnya tubuh menjalani tiap kesempatan. Ia tahu persis, dirinya tak diciptakan sempurna. Ia diciptakan dengan kekurangan dan keterbatasan. Tugasnya bukan menembus batas, namun menari di antara batas.
Rehatlah, wahai diri, agar kepenatan itu hilang, dan kekuatan terisi kembali. Sesuatu yang menjadi syarat akan yang wajib, adalah kewajiban pula. Jika kerjamu bisa optimal tersebab cukup beristirahat, maka istirahat itu pula lah bagian penting dari kerjamu.
Maka istirahat bukanlah bersenang-senang tak tentu arah. Insan produktif amat cermat memikirkan jenis istirahatnya. Adakah ia memerlukan tidur, ataukah justru makanan bergizi yang diperlukannya? Adakah ia perlu menonton TV, atau lebih baik membaca buku? Adakah ia perlu bersenda gurau, atau bersujud dalam keheningan?
Sebab tak semua istirahat itu sama, perhatikan apa yang kau perlukan. Dirimu memiliki tubuh, pikiran, perasaan, dan jiwa. Pada keempatnya ada istirahat dan bahan bakar yang jadi kebutuhan.
Mengistirahatkan tubuh bisa berupa tidur yang cukup. Tidur yang awal, dan bangun juga awal. Bukan tidur yang larut, pun dalam jumlah yang terbatas. Ia juga berarti makan pada waktunya, dan berhenti pada cukupnya. Ia pun berupa gerak yang mengolah agar meningkat kapasitasnya.
Mengistirahatkan pikiran lain ceritanya. Ia lah keluar dari rutinitas, untuk menambah informasi baru, berdiskusi penuh manfaat, berguru pada para berilmu. Bacaan yang baik adalah salah satu nutrisinya. Menulis adalah cara lainnya, sebab ia mampu menata pikiran, mengurai pemahaman.
Mengistirahatkan rasa beda juga bentuknya. Ia lah berinteraksi dengan sesama, demi menyambung rasa. Ada ruang dalam diri yang hanya bisa diisi dengan bertemu orang lain. Sebagaimana ada ruang pada diri orang lain yang perlu kita isi. Berkawanlah. Kenalilah orang baru. Perdalam pemahaman pada yang telah dikenali. Sebab kita hidup tak pernah sendiri.
Mengistirahatkan jiwa adalah dengan kembali kepadaNya. Tersambung padaNya. Dia sediakan minimal 5 kali sehari, pada waktu yang paling kau butuhkan. Maka bersegeralah, jangan kau tunda-tunda. Hidangan dingin kerap hambar terasa. Begitupun jiwa yang rindu memerlukan pertemuan segera. Jelas, yang 5 itu tak cukup jika ingin menjadi luar biasa. Maka utusanNya telah ajarkan, bahwa pada setiap kesempatan ada cara tuk senantiasa terhubung denganNya.