Mencatat: Membangun Pengalaman di Atas Pengalaman

Satu hal yang kukagumi dari para ilmuwan adalah kegemaran mereka mencatat. Ya, bahkan untuk hal-hal yang orang awam menganggap remeh. Hal-hal yang luput dari penglihatan keseharian, dalam kacamata para ilmuwan, adalah data yang tak boleh dilewatkan. Sebab dari sana lah lahir dasar atas sebuah penafsiran, yang kemudian menjelma ilmu pengetahuan.

Disebut research, sebab kegiatan yang dilakukan oleh para ilmuwan adalah re-search, mencari, menelaah, mendalami berulang-ulang. Proses pencarian yang berulang atas data yang sama. Wajarlah jika tiap data wajib dicatat dengan cermat, sebab bagaimana mungkin pencarian mendalam bisa membuahkan hasil, jika data terus berubah?

Di luar itu, bagiku, mencatat adalah membekukan pengalaman. Setiap pengalaman berharga, namun repotnya, ia tak pernah kembali. Jika pun ada kemiripan, takkan pernah benar-benar sama. Padahal, ada lapisan pembelajaran dalam tiap pengalaman. Tengoklah ke hari-hari di masa kecil. Bukankah tiap fase kematangan berpikir senantiasa menghadirkan pemahaman yang berbeda? Apa yang menyakitkan dulu, justru melegakan kini. Apa yang membosankan dulu, jadi mengasyikkan kini. Jika satu saja pengalaman sanggup lahirkan ratusan pemahaman, bagaimana dengan jutaan pengalaman? Sekiranya saja tiap pengalaman kita catat, bayangkan betapa kayanya diri ini dengan pemahaman. Sebab dengan leluasa kita bisa menelaah kembali, berulang-ulang, dan memperoleh jutaan pengetahuan.

Tersebab pengalaman yang demikian dinamis, berlangsung terus, tanpa berhenti dari hari ke hari, maka mencatat adalah cara efektif tuk membekukannya. Dengan mencatat, setidaknya sebagian besar komponen penting dari pengalaman terekam, siap ditelaah kembali. Meski pekerjaan menelaah itu sebuah tantangan tersendiri, ia jadi mudah didasarkan pada pencatatan yang cermat.

Jika sudah begini, sejatinya tiap orang bisa menjadi ilmuwan. Insan yang berilmu sebab selalu memunguti pemahaman yang lahir dari pencatatan. Dari sana, ilmu kemudian dipraktikkan, dan hasilkan pengalaman baru. Yang ketika pengalaman baru ini kembali dicatat, ditelaah lagi, jadilah ia bangunan pengetahuan. Kita tak bisa membangun tanpa dasar. Dan sebaik-baik bangunan adalah yang ditumpuk di atas dasar yang kuat: pencatatan. Maka mencatat, berarti fondasi pengetahuan.

Mencatat, sebab ia membekukan pengalaman, menjadikan sebuah pengalaman bisa diwariskan hingga generasi ke generasi. Dalam dunia penelitian dikenal meta-analisa. Analisa terhadap hasil analisa. Penelitian terhadap hasil-hasil penelitian, demi memahami kesalingterkaitan. Tidaklah ini mungkin terjadi, tanpa pencatatan yang rapi. Dan riset bertahun-tahun lampaunya bisa terus dipelajari meski sang peneliti telah lama pergi.

Betapa produktif insan pencatat. Pengalaman sederhananya bisa menjelma selaksa makna. Maka mencatatlah, wahai diri, agar hidup lebih produktif. Bayangkan, usia telah tutup pun pencatatan masih mungkin dinikmati dan bermanfaat bagi orang lain.

Jikapun kau tak merasa cukup cerdas tuk lahirkan ilmu baru, wahai diri, catatlah pengalamanmu. Sebab kita tak pernah tahu, siapa yang kelak kan membutuhkannya. Pencatatan adalah warisan.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *