Sungguh banyak yang mengira, bahwa pengetahuan lahir dari mendengar semata. Cukup memasang telinga, dan pengetahuan hadir dengan sendirinya. Jika yang demikian ini benar, maka betapa banyak ilmu kita. Sebab telinga ini tak pernah tertutup, maka setiap yang didengar kan masuk tak terbendung.
Sayangnya, pengetahuan tak hadir dengan cara demikian. Buktinya, meski telinga demikian terbuka, dua orang murid kan mendapat pengetahuan yang berbeda. Lalu apa yang membedakan keduanya? Dari mana sebenarnya datang pengetahuan?
Adalah Johan Galtung, sosiolog kenamaan dari Norwegia itu, yang pernah berujar, “Good questions, are raw materials for making good science.” Pertanyaan, adalah bahan baku pengetahuan. Maka tak mengherankan jika kita membaca laporan penelitian, kita akan menemukan pertanyaan penelitian sebagai hal yang pertama kali dirumuskan. Tanpa pertanyaan, takkan ada jawaban. Dan pertanyaan yang tepat, kan lahirkan jawaban tepat pula.
Maka bertanya, adalah pintu pertama untuk memproduksi pengetahuan. Malu bertanya, sesat di jalan. Demikian ajaran orang tua dahulu. Tersebab kita malu bertanya, padahal tidak tahu, tersesatlah diri ini di alam kebodohan. Pertanyaan adalah pintu dan jendela yang membuka rumah, sehingga memungkinkan masuknya ilmu sebagai cahaya.
“Dengarkan dulu, jadilah gelas kosong,” nasihat yang pernah kudengar dulu. Maksudnya tentu adalah agar kala memulai belajar sesuatu, jangan sampai membatasi diri, defensif, sehingga ilmu baru tak bisa masuk. Namun pada sisi lain, benar-benar mengosongkan pikiran, dan sama sekali tak punya pertanyaan, kerap justru menyebabkan diri ini melewatkan banyak pengetahuan penting.
Kok?
Ya, karena pertanyaan itu menjaring jawaban. Tanpa jaring, takkan tertangkap ikan di lautan. Begitupun pengetahuan. Kala ia disediakan, diajarkan oleh guru nan berilmu, tanpa pertanyaan, ia kan menguap tak tertangkap.
Pernah kutemui sebuah kelas yang selama 2 hari, hanya melahirkan 1 pertanyaan dari seorang peserta. Itu pun di paruh akhir hari kedua. Selama 1,5 hari, para peserta hanya diam mendengar dengan antusiasme rendah. Satu sisi, ku introspeksi caraku mengajar. Memang ada banyak cara untuk menstimulasi semangat para peserta. Sisi lain, aku pun merenung, jika aku ada di posisi mereka, akankah ku kan mendapat banyak pembelajaran?
Tidak. Ya, ku sadari, kala hanya mendengar, aku kerap merasa bisa memahami sesuatu. Namun ketika kucoba menjelaskannya kembali—dan menjelaskan kembali adalah cara mengecek pemahaman—sungguh tak banyak yang bisa keluar. Teramat sedikit dari yang kudengar langsung melekat. Pertanyaanlah kemudian yang menjadikan pengetahuan itu tersimpan.
Maka bertanyalah, wahai diri, untuk melahirkan pengetahuan. Bertanyalah dan uji kembali pemahamanmu. Tiap ilmu yang diajarkan itu milik gurumu. Ia baru menjadi milikmu kala kau lekatkan dengan dirimu, dengan pengalamanmu. Serupa menjahit baju, yang meski telah diukur dengan cermat sebelumnya, mesti dipaskan sebelum diberi sentuhan akhir, hingga nyaman digunakan. Pengetahuan pun demikian. Ia terstimulasi oleh pertanyaan, hingga pas, tepat sesuai dengan kebutuhan.