“Tak melakukan apa-apa, berarti tak menjadi siapa-siapa.”
Ada sebagian kecenderungan insan untuk merasa senang ketika tidak melakukan apa-apa. Setidaknya, ia muncul ketika sedang berada dalam tumpukan kesibukan. Lahirlah angan-angannya, betapa nikmat jika bisa bersantai tanpa mesti mengerjakan apa-apa. Betapa asyik jika bisa di rumah seharian, menonton TV atau mendengkur seharian.
Aku teringat sebuah kelas yang ada beberapa peserta memilih untuk tak iku aktif menjalankan latihan yang diinstruksikan. Mereka bersantai, mengobrol, sementara para peserta lain serius berlatih. Tidak banyak jumlah yang serupa ini. Namun hampir selalu ada di setiap kelas. Pun jika tidak mengobrol, mereka sekedar diam dan menjadi pengamat. Lalu kelimpungan kala diminta untuk menceritakan pembelajaran yang didapat. Kejadian yang sebenarnya sudah ada sejak zaman sekolah.
Padahal, kala ditelaah lebih lanjut, apa yang terjadi itu sungguh berbahaya. Ya, ada bahaya di balik kecenderungan tidak melakukan apa-apa. Apa itu? Mari kita lihat.
Ketika seseorang tak melakukan apa-apa, maka ia tak menghasilkan apa-apa. Ya, sebab hasil lahir dari usaha. Ia yang tak mau berusaha, atau berusaha namun sekedarnya, takkan membukukan hasil yang signifikan dalam hidupnya.
Nah, bagaimana kah nasib mereka yang tak menghasilkan apa-apa?
Mudah ditebak, ia tak memiliki reputasi apa-apa. Sebab reputasi adalah buah dari rentetan hasil. Ia yang tak membuktikan hasil yang optimal dan berkelanjutan, takkan mendulang reputasi yang kan melejitkan nilai dirinya. Jangankan tak ada hasil. Ada hasil namun tak konsisten saja reputasi masih bisa dianggap buruk. Sebab fitrah kita mengharapkan pada sesuatu yang bisa diandalkan, maka diri ini akan lebih mengapresiasi ia yang sanggup melahirkan hasil terus-menerus dengan kualitas yang baik.
Lalu jika demikian, apa jadinya orang yang tak memiliki reputasi apa-apa?
Jelas, ia bukanlah siapa-siapa. Ia ada di kerumunan, bahkan lapisan terbawah. Lebih mengerikannya lagi, ia bisa jadi terpental dari kerumunan, sebab sama sekali tak diperhitungkan. Nasibnya bergantung pada kebaikan hati orang lain.
Bahagiakah insan seperti ini?
Silakan renungkan sendiri. Namun kemungkinan besar, tidak.
Adalah fitrah diri ini untuk bergerak. Ya, gerak adalah tanda kehidupan. Jika tak ada pergerakan, maka tak ada kehidupan. Maka insan yang enggan bergerak, sejatinya sedang menyalahi fitrahnya. Ia masih hidup, namun seolah ingin menghentikan hidupnya. Tidakkah ia sadari bahwa waktu tak pernah berhenti. Sedang pada tiap waktu ada tugas yang mesti dijalani. Maka bermalas-malasan, sejatinya bukan pilihan. Bermalas-malasan lho, bukan beristirahat. Ada beda di antara keduanya. Pada istirahat ada usaha untuk mengembalikan energi. Sementara pada bermalas-malasan, yang ada justru membuang-buang energi.
Sebagian orang ada yang mengeluhkan nasibnya. Ia tak mendapat apa yang ia angan-angankan. Padahal jika dirunut ke belakang, nasibnya lahir dari reputasinya. Reputasinya lahir dari rangkaian hasilnya. Dan rangkaian hasilnya lahir dari apa-apa yang dilakukannya.
Bagaimana hendak bernasib baik jika tak memiliki reputasi baik? Bagaimana bisa memiliki reputasi unggul jika hasil tak tampak? Bagaimana hasil kan tampak jika bergerak asal-asalan?
Maka sungguh ada bahaya, wahai diri, pada kecenderungan tak melakukan apa-apa. Sebab itu artinya, kita pun takkan menjadi siapa-siapa.