“Berbuat baiklah, dan luruskan niat. Itulah resep jitu sejak zaman Bapak Para Nabi.”
“Orang yang paling baik agamanya adalah orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
An Nisa’: 125
Mari belajar dari insan terbaik. Insan yang ditahbiskan olehNya sebagai kekasihNya. Duhai, adakah yang tak mendambakan diri menjadi kekasih sejatiNya? Tidak. Tentu tak ada. Kehormatan dan kebahagiaan tertinggi bagi seorang hamba adalah ketika diakui sebagai hamba terdekat Tuannya. Ketinggian derajat ciptaan adalah kala diakui kedekatan oleh Penciptanya.
Ya, Ibrahim as adalah sebaik-baik insan. Ia lah bapak para nabi yang dimuliakan namanya dari generasi ke generasi. Ia lah yang sepanjang hayatnya tak tertoreh sejarah kecuali adalah ketaatan, keberanian, kelurusan, kesungguhan. Dan beruntunglah kita, kan samalah nasib kita, jika berada di jalannya. Mengikuti jalannya yang lurus. Jalan Ibrahim, adalah jalan insan produktif. Bagaimana tidak? Siapakah yang lebih produktif dari beliau, yang peninggalannya lestari dari generasi ke generasi?
Lalu seperti apakah kiranya jalan Ibrahim itu?
Ia lah jalan insan yang paling ikhlas dalam berserah diri kepada Allah. Ikhlas bermakna murni Serupa susu yang putih asli tanpa bercampur apapun. Inilah keadaan jiwa yang sesejatinya. Sebab jiwa pasti memerlukan tempat bersandar, dan jiwa yang ikhlas adalah ia yang bersandar pada yang layak disandari. Ia yang tak ada lagi tempat bersandar selainnya.
Seperti apa kah praktiknya?
Dengan mendaftarkan tiap amalan sebagai persembahan untukNya. Sebagai konsekuensinya, amalan itu mestilah yang menyenangkanNya, yang sesuai tuntunanNya, yang dicontohkan oleh nabiNya. Untuk ini, mau tak mau kita mesti belajar. Mengaji dan mengkaji. Percayalah, tak satupun aktivitas di zaman ini yang tak ada petunjuknya dari Sang Nabi. Betul kita perlu menyesuaikannya, namun ia telah tersedia.
Aku teringat sebuah ungkapan, “What I need most in life, is what I learned in kindergarten.” Ya, banyak yang mengakui, bahwa tindakan-tindakan fundamental dalam kehidupan adalah ia yang justru dipelajari saat masih taman kanak-kanak. Senyum, sapa, salam, misalnya, adalah ajaran yang tak lekang oleh waktu, secanggih apapun teknologi telah berkembang kini. Keceriaan dalam kesungguhan, kegemaran dalam pembelajaran, adalah kebiasaan yang berguna bahkan meski seseorang telah berstatus miliarder sekalipun. Marshall Goldsmith, executive coach kenamaan itu, menulis buku fenomenal yang merupakan hasil pengamatannya pada para klien eksekutif yang ia tangani. Tajuknya, “What Got You Here, Won’t Get You There”. Penemuannya, yang menghambat pada eksekutif untuk naik lebih tinggi bukanlah kurangnya informasi atau kompetensi terkini. Melainkan justru perilaku-perilaku mendasar yang dipelajari di masa kecil, seperti misalnya mendengarkan dengan baik.
Lalu kita pun terkenang kalimat Sang Nabi, “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak.” Ya, rangkaian kehidupan beliau adalah rangkaian demonstrasi akhlak terbaik yang berlaku dari dulu hingga kini, dan seterusnya nanti.
Maka berbuat baiklah, wahai diri, dan luruskanlah niat untukNya. Itulah resep jitu sejak zaman Bapak Para Nabi.