“Pekerjaanmu, bukanlah dirimu. Tapi apa yang kau kerjakan, itulah dirimu.”
Di era ini, yang disebut pekerjaan seolah telah dibatasi. Jika nama beberapa profesi yang kerap didengar muncul, tenanglah hati ini. Namun ketika ada pekerjaan yang tak umum, refleks saja diri ini mengernyitkan dahi. Padahal dalam khazanah linguistik, pekerjaan adalah sejenis nominalisasi. Sebuah kata benda yang sebenarnya tak memiliki unsur kebendaan dalam dunia nyata. Sebab pekerjaan pada hakikatnya adalah rangkaian aktivitas. Ketika ia dijalankan secara rutin, lalu terbentuk pola, hingga terasa fix dan nyata, lalu terbitlah nama tuk memudahkan kita mengingat dan menyebutnya.
Repotnya, ketika telah dianggap benda, ia terasa tetap, seolah tak mungkin mengalami perubahan. Sebab perubahan itu menuntut penataan ulang dalam cara diri ini memahami. Dan penataan ulang—pembongkaran—bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jadilah pekerjaan, yang tertuang dalam berbagai deskripsinya itu, lebih cenderung didiamkan saja apa adanya, meski keadaan telah menghendaki diri berbuat sesuatu yang baru.
Ini mengerikan.
Sebab sejarah telah mencatat, hilangnya berbagai pekerjaan karena tergilas perubahan zaman. Bukan sebab sang pekerja tak terampil, melainkan karena tak lagi diperlukan. Maka jika menganggap sebuah pekerjaan sebagai benda yang menetap adanya itu berbahaya, apatah lagi mengidentifikasikan diri kepadanya. Ketika pekerjaan tak lagi diperlukan, begitu pula para pekerjanya.
“Pekerjaanmu, bukanlah dirimu.”
Sebab pekerjaan itu semu. Ia adalah rangkaian dari apa-apa yang kau kerjakan. Kau bisa mengubah apa yang kau lakukan, jika memang diperlukan. Dan kala kau selalu menjawab tantangan perubahan dengan penyesuaian, kau terbebas dari pekerjaanmu. Kau tak dikendalikan oleh pekerjaanmu, melainkan kau lah yang mengendalikan pekerjaanmu. Kau yang mendefinisikan pekerjaanmu.
Salah satu pembeda karyawan golongan tertentu di sebuah perusahaan, yang berakibat pada lebih tingginya pula penghasilan yang mereka terima, adalah kemampuannya untuk mendesain pekerjaannya sendiri. Dalam situasi yang tak pasti, ia tak meminta kepastian semata, melainkan mengusulkan apa yang sebaiknya dikerjakan. Semakin tinggi posisi, semakin tak ada yang pasti, karenanya ganjaran bagi mereka pun bisa mereka tentukan sendiri.
“Tapi apa yang kau kerjakan, itulah dirimu.”
Yang kau kerjakan kan jadi kebiasaan. Ia hadirkan hasil-hasil yang tumpuk-menumpuk menjadi rekam jejakmu. Pun jua keyakinan dirimu. Kita dikenang karena apa-apa yang kita kerjakan. Maka mengerjakan—dan tak mengerjakan—sesuatu merupakan tambahan dalam daftar riwayat hidup yang kita tulis. Semakin berarti, semakin kokohlah reputasi. Sebaliknya, mengerjakan ala kadarnya, dengan hasil biasa-biasa saja, menggolongkan diri ini pada kumpulan yang serupa.
Ah, tengoklah ke dalam. Dengarkan suara yang sayup-sayup bicara. Tiap kali mengerjakan hal seadanya, adakah ada kebanggaan, kebahagiaan, kepuasan? Sebaliknya, kala yang dijalankan adalah usaha dengan segenap kesungguhan dan ketekunan, bukankah diri ini terasa amat berarti?
Maka definisikan pekerjaanmu, wahai diri. Sebab kita adalah buah dari apa-apa yang kita kerjakan. Dalam kerja ada persembahan. Lalu apa nan hendak kau persembahkan saat bersimpuh di hadapan?