“Tak ada kata menunggu, ketika ada buku.”
Menunggu itu hanya terjadi pada mereka yang tak berteman dengan buku. Sebab menunggu, yang kerap identik dengan kesan membosankan itu, adalah kekosongan aktivitas tersebab tak ada rencana untuk melakukan sesuatu di kala itu. Jika ada rencana, tentu bukan menunggu namanya. Dan biasanya, terjadi menunggu ini karena ia tak diduga. Ada waktu yang tetiba luang—atau diluangkan—tersebab tak diperhitungkan sebelumnya. Contoh, menunggu antrian. Karena kita tak tahu persis kapan kan mendapat giliran, maka kita luangkan waktu, dan akhirnya ‘terpaksa’ menunggu. Sekiranya kita bisa hadir tepat saat giliran, tentu tak perlu diluangkan waktu itu.
Kudapati, waktu menunggu sungguh kadang memakan banyak waktu. Mulai dari hitungan menit hingga jam. Tak ada yang bisa kita perbuat untuk mempercepat sebab memang keadaannya kerap demikian. Menunggu penerbangan, misalnya. Ia tak ada dalam kendali diri. Mau pergi, khawatir tak cukup waktu kembali. Maka menunggu adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari.
Nah, untuk menyiasati kondisi itu, sudah beberapa tahun terakhir ini aku selalu menyediakan buku apapun aktivitasku. Ia selalu ada di dalam tas, meski aku tahu belum tentu ada waktu tuk membacanya. Semisal, aku ada janji temu. Tentu secara logika, itu bukan waktu untuk membaca buku. Namun siapa tahu jika ternyata rekan bicaraku terlambat datang, perlu ke toilet beberapa lama, dan banyak kemungkinan kondisi lain. Waktu 10-15 menit buatku sungguh amat lumayan. Dengan kecepatan membaca standar, aku bisa menyelesaikan 5-10 halaman. Betapa manfaat, dibanding hanya duduk dan browsing di media sosial yang belum tentu bernilai tambah.
Maka aku teringat sebuah nasihat dalam kumpulan Mahfudzat, bahwa sebaik-baik teman menunggu adalah buku. Sebab keberadaan buku seketika mengubah idle time, yang dalam khazanah manajemen operasi berarti terbuangnya cost secara percuma, menjadi aktivitas yang valuable. Waktu menunggu itu tak ada, jika ada buku untuk kita baca.
“Tapi membawa buku kemana-mana itu berat,” keluhmu.
Nah, alhamdulillah, saat ini begitu banyak buku dalam format elektronik yang tak memerlukan tempat tambahan di tas, melainkan hanya cukup di saku. Alih-alih membuka smartphone dan mengakses media sosial untuk tujuan yang tak jelas, mengapa tidak membaca ebook yang tersedia di dalamnya?
Membaca itu layaknya ngemil. Dimakan sedikit demi sedikit, tak terasa, berat badan bertambah. Buku, dibaca selembar demi selembar, tak terasa, meluas dan mendalamlah wawasan kita.
Carilah buku yang kau minati, wahai diri, lalu nikmati. Temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Membaca buku yang bagus, adalah cara belajar paling cepat, sebab kita memangkas sekian tahun perjalanan trial and error, dan cukup menikmati rumusan yang telah dituliskan sang penulisnya. Tentu kita perlu mengolahnya agar pas dengan diri. Namun waktu yang dihemat, sungguh amat layak diusahakan. Apatah lagi ia dilakukan di sela-sela menunggu.